PENDIDIKAN DAN PERUBAHAN
SOSIAL-BUDAYA
A. Pendidikan sebagai Sosialisasi Kebudayaan
Telah kita ketahui bersama bahwasanya pendidikan lahir
seiring dengan keberadaan manusia, bahkan dalam proses pembentukan
masyarakat pendidikan ikut andil untuk menyumbangkan
proses-proses perwujudan pilar-pilar penyangga masyarakat.
Dalam hal ini, kita bisa mengingat salah satu ungkapan para
tokoh antropologi seperti Goodenough, 1971; Spradley, 1972; dan
Geertz, 1973 mendefinisikan arti kebudayaan di mana kebudayaan
merupakan suatu sistem pengetahuan, gagasan dan ide yang
dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat yang berfungsi sebagai
landasan pijak dan pedoman bagi masyarakat itu dalam bersikap
dan berperilaku dalam lingkungan alam dan sosial di tempat
mereka berada (Sairin , 2002).
Sebagai sistem pengetahuan dan gagasan, kebudayaan yang
dimiliki suatu masyarakat merupakan kekuatan yang tidak tampak
(invisble power), yang mampu menggiring dan mengarahkan
manusia pendukung kebudayaan itu untuk bersikap dan berperilaku
sesuai dengan pengetahuan dan gagasan yang menjadi
milik masyarakat tersebut, baik di bidang ekonomi, sosial, politik,
kesenian dan sebagainya.
Sebagai suatu sistem, kebudayaan tidak diperoleh manusia
dengan begitu saja secara ascribed, tetapi melalui proses belajar
yang berlangsung tanpa henti, sejak dari manusia itu dilahirkan
sampai dengan ajal menjemputnya. Proses belajar dalam konteks
kebudayaan bukan hanya dalam bentuk internalisasi dari sistem
“pengetahuan” yang diperoleh manusia melalui pewarisan atau
transmisi dalam keluarga, lewat sistem pendidikan formal di
sekolah atau lembaga pendidikan formal lainnya, melainkan juga
diperoleh melalui proses belajar dari berinteraksi dengan lingkungan
alam dan sosialnya.
Melalui pewarisan kebudayaan dan internalisasi pada setiap
individu, pendidikan hadir dalam bentuk sosialisasi kebudayaan,
berinteraksi dengan nilai-nilai masyarakat setempat dan memelihara
hubungan timbal balik yang menentukan proses-proses
perubahan tatanan sosio-kultur masyarakat dalam rangka
mengembangkan kemajuan peradabannya.
Sebaliknya, dimensi-dimensi sosial yang senantiasa mengalami
dinamika perkembangan seiring dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi merupakan faktor dominan yang telah
membentuk eksistensi pendidikan manusia. Penggunaan alat dan
sarana kebutuhan hidup yang modern telah memungkinkan pola
pikir dan sikap manusia untuk memproduk nilai-nilai baru sesuai
dengan intensitas pengaruh teknologi terhadap tatanan kehidupan
sosial budaya.
Dalam hal ini, pendidikan menjadi instrumen kekuatan sosial
masyarakat untuk mengembangkan suatu sistem pembinaan
anggota masyarakat yang relevan dengan tuntutan perubahan
zaman. Abad globalisasi telah menyajikan nilai-nilai baru, pengertian-
pengertian baru serta perubahan-perubahan di seluruh ruang
lingkup kehidupan manusia yang waktu kedatangannya tidak
bisa diduga-duga. Sehingga dunia pendidikan merasa perlu untuk
membekali diri dengan perangkat pembelajaran yang dapat
memproduk manusia zaman sesuai dengan atmosfir tuntutan global.
Penguasaan teknologi informasi, penyediaan SDM yang profesional,
terampil dan berdaya guna bagi masyarakat, kemahiran
menerapkan Iptek, perwujudan tatanan sosial masyarakat yang
terbuka, demokratis, humanis serta progresif dalam menghadapi
kemajuan jaman merupakan beberapa bekal mutlak yang harus
dimiliki oleh semua bangsa di dunia ini yang ingin tetap bertahan
menghadapi tata masyarakat baru berwujud globalisasi.
Melihat urgensi hubungan antara pendidikan dan dinamika
sosial budaya, sosiologi pendidikan berusaha menerapkan analisis
ilmiah untuk memahami fenomena pendidikan dalam hubungannya
dengan perubahan sosial-kebudayaan. Di mana pada langkah
awalnya akan dibangun suatu proses penjelasan hakikat kebudayaan
sebagai wahana tumbuh kembangnya eksistensi pendidikan
terhadap anggota masyarakat. Sebagai salah satu perangkat
kebudayaan pendidikan akan melakukan tugas-tugas kelembagaan
sesuai dengan hukum perkembangan masyarakat. Dari
sini dapat kita amati bersama sebuah alur pembahasan hubungan
dialektik antara pendidikan dengan realitas perkembangan sosial
59
faktual yang saat ini tengah menggejala pada hampir seluruh
masyarakat dunia.
B. PergulatanManusia dalam Keanekaragaman Budaya
Semenjak awal dunia telah melakukan penelusuran hakikat
asal usul dari manusia. Seperti mengungkap kotak hitam misteri
yang tak pernah ditemukan kunci pembukanya, pemecahan seluk
beluk sejarah manusia telah menyita waktu dan pemikiran yang
menimbulkan penafsiran bermacam-macam. Masing-masing
pemikir atau asumsi umum silih berganti mengajak masyarakat
menjadi penganut perspektif tersebut. Diantaranya adalah tiga
asumsi besar yang hadir pada masyarakat awam sebelum jaman
pencerahan. Pertama, ada yang berpendapat bahwa pada dasarnya
makhluk manusia memang diciptakan beraneka macam atau
poligenesis; dan menganggap bahwa orang-orang di Eropa yang
berkulit putih merupakan makhluk manusia yang paling baik dan
kuat. Oleh karena itu, kebudayaan yang dimilikinya juga paling
sempurna dan paling tinggi. Cara berpikir yang kedua adalah
yang meyakini bahwa sebenarnya makhluk manusia itu hanya
pernah diciptakan sekali saja atau monogenesis; yaitu dari satu
makhluk induk dan bahwa semua makhluk manusia di dunia ini
merupakan keturunan Adam. Sebagian dari mereka yang punya
pandangan ini berpendapat bahwa keanekaragaman makhluk
manusia dan kebudayaannya, dari tinggi sampai rendah; sebagai
akibat proses kemunduran yang disebabkan oleh dosa abadi yang
pernah dilakukan oleh Nabi Adam. Sebaliknya, sebagian lain
berpendapat bahwa sebenarnya makhluk manusia dan kebudayaan
tidak mengalami proses degenerasi. Akan tetapi apabila pada
masa kini terdapat perbedaan, lebih disebabkan oleh tingkat
kemajuan mereka yang berbeda. Makhluk manusia yang mereka
jumpai di Afrika, Asia dan Oceanea merupakan keturunan Nabi
Adam yang nenek moyang mereka ‘lebih rendah’ dibandingkan
dengan nenek moyang orang-orang Eropa.
Kebangkitan kembali terhadap studi kesusastraan dan ilmu
pengetahuan Yunani dan Rumawi Klasik yang terjadi pada abad
XVI di Eropa atau yang dikenal dengan Renaissance; menimbulkan
rasionalisme yang pada akhirnya menyebabkan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi di Eropa. Pada masa itu, yaitu sampai
abad XVIII, Eropa mengalami zaman Aufklarung atau ‘Pencerahan’.
Berbagai bidang kajian banyak dilakukan, termasuk upaya
untuk meneliti tentang keanekaragaman makhluk manusia dan
kebudayaannya di berbagai tempat di muka bumi. Beranekamacam
kajian anatomi komparatif yang dilakukan, lebih ditekankan
atas dasar keanekaragaman ciri-ciri fisik manusia. Selain itu,
ada sebagai para ahli filsafat sosial di masa Aufklarung, mulai
mengkaji berbagai bentuk-bentuk masyarakat dan tingkah laku
makhluk manusia. Berbagai gejala dan tingkah laku manusia,
dicoba untuk dipahami dengan mendasarkan pada kaidah-kaidah
alam. Untuk itu metodologi ilmu eksaksta, khususnya biologi,
kerapkali dicoba untuk diterapkan untuk mengkaji perilaku
manusia. Kesemuanya itu tidak terlepas dari kekaguman mereka
terhadap kemajuan ilmu alam dan ilmu pasti yang terjadi pada
zaman itu. Beraneka ragam gejala perilaku makhluk manusia
dalam kehidupan bermasyarakat, dianalisis secara induktif
dengan mencari unsur-unsur persamaan yang ada; kemudian
diupayakan dirumuskannya sebagai kaidah-kaidah sosial. Cara
berpikir rasional yang akhirnya berkembang menjadi aliran positivisme
sangat mewarnai para cendekiawan pada zaman
Aufklarung. Mereka percaya bahwa berbagai kaidah tersebut akan
dapat dipergunakan untuk mengatur dan merubah suatu
masyarakat.
Agaknya, pola pikir para cendekiawan masa Aufklarung yang
memandang masyarakat dan kebudayaan sebagai suatu kesatuan,
yang mana bagian-bagian dan unsur-unsurnya saling terkait antara
satu dengan lainnya sebagai suatu sistem yang bulat; sampai
sekarang ini masih tetap relevan dalam antropologi, terutama
yang mengacu pada metode pendekatan holistik.
Wujud dari keanekaragaman masyarakat manusia itu di samping
disebabkan oleh akibat dari sejarah mereka masing-masing;
juga karena pengaruh lingkungan alam dan struktur internalnya.
Oleh karenanya sesuatu unsur atau adat dalam suatu kebudayaan,
tidak dapat dinilai dari pandangan kebudayaan lain, melainkan
harus dari sistem nilai yang ada dalam kebudayaan itu sendiri
(relativisme kebudayaan). Atas dasar itu, ia mengajukan konsep
pemikirannya bahwa pada dasarnya kebudayaan umat manusia
adalah berkembang melalui suatu tingkat-tingkat evolusi tertentu.
Kebudayaan yang dimiliki orang Eropa merupakan contoh dari
tahap akhir suatu proses evolusi tersebut.
60
Sejak pertama kalinya, makhluk yang bercirikan manusia
muncul di muka bumi sekitar satu juta tahun yang lalu, yaitu
dengan ditemukannya fosil dari makhluk Pithecanthropus Erectus,
sampai dengan sekarang ini, telah terjadi berbagai perubahan
kebudayaan yang dimilikinya; sementara itu proses evolusi
organik makhluk manusia tidak secepat perkembangan kebudayaannya.
Oleh karenanya kebudayaan menunjukkan satu sifat
khasnya yakni superorganik. Apabila proses evolusi kebudayaan
dibandingkan dengan proses evolusi fisik dari makhluk manusia,
sampai pada suatu kurun waktu tertentu masih berjalan sejajar.
Akan tetapi pada suatu tahap perkembangan tertentu, diduga
proses perubahan kebudayaan berjalan amat cepat sekali seolaholah
meninggalkan proses evolusi organiknya.
Selain disebabkan oleh mekanisme lain seperti munculnya
penemuan baru atau invention, difusi dan akulturasi; perubahan
suatu lingkungan akan dapat pula mengakibatkan terjadinya
perubahan kebudayaan. Selama perjalanan waktu yang lama,
dengan akal yang dimilikinya, makhluk manusia semakin memiliki
kemampuan menyempurnakan kebudayaan yang dimilikinya.
Setiap kali mereka berupaya menyempurnakan dirinya, maka
akan menyebabkan perubahan kebudayaannya. Suatu perubahan
kebudayaan dapat berasal dari luar lingkungan pendukung
kebudayaan tersebut. Gerak kebudayaan yang telah menimbulkan
perubahan dan perkembangan, akhirnya juga menyebabkan
terjadinya pertumbuhan; sementara itu tidak tertutup kemungkinan
hilangnya unsur-unsur kebudayaan lama sebagai akibat
ditemukannya unsur-unsur kebudayaan baru. Dalam rangka studi
akulturasi, para ahli antropologi telah lama mencoba untuk
memahami terjadinya perbedaan derajat perubahan perkembangan
suatu kebudayaan.
Sementara itu dalam sejarah perkembangan kebudayaan
umat manusia, Childe (1998) berpendapat bahwa ada tiga jenis
revolusi terpenting dalam sejarah perkembangan kebudayaan
makhluk manusia. Perubahan kebudayaan yang demikian pesat
atau lebih dikenal dengan Revolusi Kebudayaan Pertama, terjadi
tatkala makhluk manusia yang termasuk Homo Sapiens pada
sekitar 80.000 tahun yang lalu, mereka masih hidup dari berburu
dan meramu. Kepandaian bercocok tanam baru muncul sekitar
sepuluh ribu tahun yang lalu di sekitar daerah pertemuan Sungau
Tigris dan Eufrat atau di Lembah Mesopotamia. Setelah ia
mengenal sistem pemukiman kota, artinya ia mulai juga bertempat
tinggal di kota-kota pada enam ribu tahun yang lalu di Pulau
Kreta Yunani, terjadilah suatu Revolusi Kebudayaan kedua; dan
setelah itu perkembangan kebudayaan manusia semakin pesat.
Akhirnya pada abad XVII di Inggris, terjadi Revolusi Industri, dan
oleh Gordon Childe dianggap sebagai Revolusi Kebudayaan
ketiga. Setelah Revolusi Industri, makhluk manusia mengenal
teknik memproduksi barang secara massal karena tenaga manusia
mulai digantikan dengan mesin-mesin yang ditemukan. Sejak
itulah, kebudayaan umat manusia semakin tumbuh dengan pesat
seolah-olah melepaskan dirinya dari proses evolusi organik atau
evolusi biologis makhluk manusia.
Menurut Morgan, 1877 (dalam Poerwanto, 2000) menyatakan
bahwa tingkat kemajuan masyarakat manusia dapat dibagi ke
dalam tiga periode evolusi, yaitu periode masyarakat berburu
atau periode liar (savage), periode beternak (barbarism) dan periode
pertanian yang berkembang ke arah peradaban atau civilitation .
Dalam konteks tersebut, para cendekiawan di masa Aufklarung
selalu menempatkan bangsa-bangsa di luar Eropa sebagai contoh
orang yang tingkat perkembangan kebudayaannya berada pada
tahap awal.
61
Periodesasi Kebudayaan dan Peradaban UmatManusia
Menurut Pandangan Lewis H.Morgan ,1877
( dalam Poerwanto, 2000: 49)
Periode Tahapan Kriteria
III. Peradaban
(Civilitation)
II. Barbar
(Barbarism)
I. Liar
(Savagery)
-
3. Barbar Atas
2. Barbar Madya
1. Barbar Bawah
3. Liar Atas
2. Liar Madya
1. Liar Bawah
- Sejak ditemukannya aksara
sampai dengan sekarang
- Sejak kemahiran melebur
besi dan mempergunakan
besi sebagai alat
- Mulai beternak binatang
dan mengenal pertanian
dengan irigasi
- Sejak dikenalnya pembuatan
barang tembikar
- Sejak ditemukannya panah
dan busur
- Sejak menguasai cara menangkap
ikan dan mampu
membuat api kehidupan
subsisten
- Sejak awal munculnya ras
makhluk manusia sampai
dengan priode berikutnya.
Manusia dan kebudayaan merupakan satu kesatuan yang
tidak terpisahkan, sementara itu pendukung kebudayaan adalah
makhluk manusia itu sendiri. Sekalipun makhluk manusia akan
mati, tetapi kebudayaan yang dimilikinya akan diwariskan pada
keturunannya, demikian seterusnya. Pewarisan kebudayaan
makhluk manusia, tidak selalu terjadi secara vertikal atau kepada
anak-cucu mereka; melainkan dapat pula secara horisontal yaitu
manusia yang satu dapat belajar kebudayaan dari manusia lainnya.
Berbagai pengalaman makhluk manusia dalam rangka
kebudayaannya, diteruskan dan dikomunikasikan kepada generasi
berikutnya oleh indiividu lain. Berbagai gagasannya dapat
dikomunikasikannya kepada orang lain karena ia mampu
mengembangkan gagasan-gagasannya itu dalam bentuk lambanglambang
vokal berupa bahasa, baik lisan maupun tertulis.
Kebudayaan mengenal ruang dan tempat tumbuh kembangnya,
dengan mengalami perubahan, penambahan dan pengurangan.
Manusia tidak berada pada dua tempat atau ruang sekaligus,
ia hanya dapat pindah ke ruang lain pada masa lain. Pergerakan
ini telah berakibat pada persebaran kebudayaan, dari masa
ke masa, dan dari satu tempat ke tempat lain. Sebagai akibatnya di
berbagai tempat dan waktu yang berlainan, dimungkinkan adanya
unsur-unsur persamaan di samping perbedaan-perbedaan.
Oleh karena itu di luar masanya, suatu kebudayaan dapat
dipandang ketinggalan zaman (anakronistik), dan di luar tempatnya
dipandang asing atau janggal.
C. Pendidikan dalam Lingkup Kebudayaan
Pada dasarnya pendidikan tidak akan pernah bisa dilepaskan
dari ruang lingkup kebudayaan. Kebudayaan merupakan hasil
perolehan manusia selama menjalin interaksi kehidupan baik
dengan lingkungan fisik maupun non fisik. Hasil perolehan
tersebut berguna untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.
Proses hubungan antar manusia dengan lingkungan luarnya telah
mengkisahkan suatu rangkaian pembelajaran secara alamiah.
Pada akhirnya proses tersebut mampu melahirkan sistem gagasan,
tindakan dan hasil karya manusia. Disini kebudayaan dapat
disimpulkan sebagai hasil pembelajaran manusia dengan alam.
Alam telah mendidik manusia melalui situasi tertentu yang
memicu akal budi manusia untuk mengelola keadaan menjadi
sesuatu yang berguna bagi kehidupannya.
Dalam konteks hidupnya demi membentuk ketahanan hasil
buah budi tersebut manusia melanjutkan dalam suatu tatanan
simbol yang memberi arah bagi kehidupan. Sistem simbol ini
menjadi rujukan utama bagi masyarakat pendukung dalam berpikir
maupun bertindak. Proses selanjutnya yang terjadi adalah
hubungan transformatif dan penguatan sistem simbol agar dapat
diteruskan kepada anggota berikutnya. Selain itu selama kehidupan
berjalan unsur-unsur kebudayaan selalu berubah menyesuaikan
perkembangan jaman. Dalam hal ini sistem simbol
dengan sendirinya melakukan reaksi untuk mengintegrasikan
perubahan atas unsur kebudayaan. Agen yang berfungsi sebagai
transmitor produk budaya kepada anggota (khususnya generasi
muda) adalah pendidikan. Hal ini mengingat pendidikan itu tiada
62
lain adalah wahana pembelajaran segala bentuk kemampuan bagi
sang pembelajar agar menjadi manusia dewasa.
Antara pendidikan dan kebudayaan terdapat hubungan yang
sangat erat dalam arti keduanya berkenaan dengan suatu hal yang
sama yakni nilai-nilai. Dalam konteks kebudayaan justeru pendidikan
memainkan peranan sebagai agen pengajaran nilai-nilai
budaya. Dari paparan terakhir dapat ditangkap bahwa pada
dasarnya pendidikan yang berlangsung adalah suatu proses pembentukan
kualitas manusia sesuai dengan kodrat budaya yang
dimiliki.
Afinitas mengenai pendidikan dan kebudayaan dapat kita
cermati dalam ciri khas manusia sebagai makhluk simbolik.
Hanya manusialah yang mengenal dan memanfaatkan simbolsimbol
di dalam kelanjutan kehidupannya. Simbol-simbol itu
dapat kita lihat di dalam kebudayaan manusia. Mengingat kebudayaan
dilestarikan dan dikembangkan melalui simbol-simbol
maka semua tingkah laku manusia terdiri dari, dan tergantung
pada simbol-simbol tersebut. Sebaliknya kebudayaan bisa lestari
apabila memiliki daya kerja yang kuat dalam memberikan arahan
para pendukungnya. Oleh karena itu kebudayaan diturunkan
kepada generasi penerusnya lewat proses belajar tentang tata cara
bertingkah laku. Sehingga secara wujudnya, substansi kebudayaan
itu telah mendarah daging dalam kepribadian anggotaanggotanya.
Uraian tentang pendidikan dan kebudayaan akan
diterangkan dalam urutan pembahasan dibawah ini.
1. Kepribadian dalam Proses Kebudayaan
Fungsi pendidikan dalam konteks kebudayaan dapat dilihat
dalam perkembangan kepribadian manusia. Tanpa kepribadian
manusia tidak ada kebudayaan, meskipun kebudayaan bukanlah
sekadar jumlah kepribadian-kepribadian. Para pakar antropologi,
menunjuk kepada peranan individu bukan hanya sebagai bidakbidak
di dalam papan catur kebudayaan. Individu adalah kreator
dan sekaligus manipulator kebudayaannya. Di dalam hal ini studi
kebudayaan mengemukakan pengertian “sebab-akibat sirkuler”
yang berarti bahwa antara kepribadian dan kebudayaan terdapat
suatu interaksi yang saling menguntungkan. Di dalam perkembangan
kepribadian diperlukan kebudayaan dan seterusnya kebudayaan
akan dapat berkembang melalui kepribadian–kepribadian
tersebut. Inilah yang disebut sebab-akibat sirkuler antara kepribadian
dan kebudayaan. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa
pendidikan bukan semata-mata transmisi kebudayaan secara pasif
tetapi perlu mengembangkan kepribadian yang kreatif. Pranata
sosial yang disebut sekolah harus kondusif untuk dapat mengembangkan
kepribadian yang kreatif tersebut. Namun apa yang
terjadi di dalam lembaga pendidikan yang disebut sekolah kita
ialah sekolah telah menjadi sejenis penjara yang memasung
kreativitas peserta didik.
Kebudayaan sebenarnya adalah istilah sosiologis untuk
tingkah-laku yang bisa dipelajari. Dengan demikian tingkah laku
manusia bukanlah diturunkan seperti tingkah-laku binatang tetapi
yang harus dipelajari kembali berulang-ulang dari orang dewasa
dalam suatu generasi. Di sini kita lihat betapa pentingnya peranan
pendidikan dalam pembentukan kepribadian manusia.
Para pakar yang menaruh perhatian terhadap pendidikan
dalam kebudayaan mula-mulanya muncul dari kaum behavioris
dan psikoanalisis Para ahli psikologi behaviorisme melihat perilaku
manusia sebagai suatu reaksi dari rangsangan dari sekitarnya.
Di sinilah peran pendidikan di dalam pembentukan perilaku
manusia. Begitu pula psikolog aliran psikoanalis menganggap
perilaku manusia ditentukan oleh dorongan-dorongan yang sadar
maupun tidak sadar ini ditentukan antara lain oleh kebudayaan di
mana pribadi itu hidup. John Gillin dalam Tilaar (1999) menyatukan
pandangan behaviorisme dan psikoanalis mengenai perkembangan
kepribadian manusia sebagai berikut.
a. Kebudayaan memberikan kondisi yang disadari dan yang
tidak disadari untuk belajar.
b. Kebudayaan mendorong secara sadar ataupun tidak sadar
akan reaksi-reaksi perilaku tertentu. Jadi selain kebudayaan
meletakkan kondisi, yang terakhir ini kebudayaan merupakan
perangsang-perangsang untuk terbentuknya perilaku-perilaku
tertentu.
c. Kebudayaan mempunyai sistem “reward and punishment”
terhadap perilaku-perilaku tertentu. Setiap kebudayaan akan
mendorong suatu bentuk perilaku yang sesuai dengan sistem
nilai dalam kebudayaan tersebut dan sebaliknya memberikan
hukuman terhadap perilaku-perilaku yang bertentangan atau
63
mengusik ketentraman hidup suatu masyarakat budaya tertentu.
d. Kebudayaan cenderung mengulang bentuk-bentuk kelakuan
tertentu melalui proses belajar.
Apabila analisis Gillin di atas kita cermati, tampak betapa
peranan kebudayaan dalam pembentukan kepribadian manusia,
maka pengaruh antropologi terhadap konsep pembentukan kepribadian
juga akan tampak dengan jelas. Terutama bagi para pakar
aliran behaviorisme, melihat adanya suatu rangsangan kebudayaan
terhadap pengembangan kepribadian manusia. Pada
dasarnya pengaruh kebudayaan terhadap pembentukan kepribadian
tersebut sebagaimana dikutip Tilaar (1999) dapat dilukiskan
sebagai berikut.
a. Kepribadian adalah suatu proses. Seperti yang telah kita lihat
kebudayaan juga merupakan suatu proses. Hal ini berarti
antara pribadi dan kebudayaan terdapat suatu dinamika. Tentunya
dinamika tersebut bukanlah suatu dinamika yang otomatis
tetapi yang muncul dari aktor dan manipulator dari
interaksi tersebut ialah manusia.
b. Kepribadian mempunyai keterarahan dalam perkembangan
untuk mencapai suatu misi tertentu. Keterarahan perkembangan
tersebut tentunya tidak terjadi di dalam ruang kosong
tetapi dalam suatu masyarakat manusia yang berbudaya.
c. Dalam perkembangan kepribadian salah satu faktor penting
ialah imajinasi. Imajinasi seseorang akan dapat diperolehnya
secara langsung dari lingkungan kebudayaannya. Manusia
tanpa imajinasi tidak mungkin mengembangkan kepribadiannya.
Hal ini berarti apabila seseorang hidup terasing
seorang diri dari nol di dalam perkembangan kepribadiannya.
Bayangkan bagaimana kehidupan kebudayaan manusia
apabila setiap kali harus dimulai dari nol.
d. Kepribadian mengadopsi secara harmonis tujuan hidup dalam
masyarakat agar ia dapat hidup dan berkembang. Tentunya
manusia itu dapat saja menentang tujuan hidup yang ada di
dalam masyarakatnya, namun demikian itu berarti seseorang
akan melawan arus di dalam perkembangan hidupnya. Yang
paling efisien adalah dia secara harmonis mencari keseimbangan
antara tujuan hidupnya dengan tujuan hidup dalam
masyarakatnya.
e. Di dalam pencapaian tujuan oleh pribadi yang sedang
berkembang itu dapat dibedakan antara tujuan dalam waktu
yang dekat maupun tujuan dalam waktu yang panjang. Baik
waktu yang dekat maupun tujuan dalam jangka waktu yang
panjang, sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai hidup di dalam
suatu masyarakat.
f. Berkaitan dengan keberadaan tujuan di dalam pengembangan
kepribadian manusia, dapatlah disimpulkan bahwa proses
belajar adalah proses yang ditujukan untuk mencapai tujuan.
Learning is agoal teaching behavior.
g. Dalam psikoanalisis juga dikemukakan mengenai peranan
super-ego dalam perkembangan kepribadian. Super-ego tersebut
tidak lain adalah dunia masa depan yang ideal. Dan seperti
yang telah diuraikan, dunia masa depan yang ideal merupakan
kemampuan imajinasi yang dikondisikan serta diarahkan
oleh nilai-nilai budaya yang hidup di dalam suatu masyarakat.
h. Kepribadian juga ditentukan oleh bawah sadar manusia.
Bersama-sama dengan ego, beserta ide, keduanya merupakan
energi yang ada di dalam diri pribadi seseorang. Energi
tersebut perlu dicarikan keseimbangan dengan kondisi yang
ada serta dorongan super-ego diarahkan oleh nilai-nilai budaya.
Dengan kata lain di dalam pengembangan ide, ego, dan
super-ego dari kepribadian seseorang berarti mencari keseimbangan
antara energi di dalam diri pribadi dengan pola-pola
kebudayaan yang ada.
2. Penerusan Kebudayaan
Satu proses yang dikenal luas tentang kebudayaan adalah
transmisi kebudayaan. Proses tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan
itu ditransmisikan dari satu generasi kepada generasi
berikutnya. Bahkan banyak ahli pendidikan yang merumuskan
proses pendidikan tidak lebih dari proses transmisi kebudayaan.
Mengenai masalah ini marilah kita cermati lebih jauh oleh karena
seperti yang telah dijelaskan, kepribadian bukanlah semata-mata
hasil tempaan dari kebudayaan. Manusia atau pribadi adalah
aktor dan sekaligus manipulator kebudayaannya. Dengan demikian,
kebudayaan bukanlah sesuatu entity yang statis tetapi
sesuatu yang terus-menerus berubah.
64
Untuk membuktikan hal tersebut marilah kita lihat variabelvariabel
transmisi kebudayaan yang dikemukakan oleh Fortes
dalam Koentjoroningrat (1991). Di dalam transmisi tersebut kita
lihat tiga unsur utama yaitu, (1) unsur-unsur yang ditransmisi, (2)
proses transmisi, dan (3) cara transmisi.
Unsur-unsur kebudayaan manakah yang ditransmisi? Pertama-
tama tentunya unsur-unsur tesebut ialah nilai-nilai budaya,
adat-istiadat masyarakat, pandangan mengenai hidup serta berbagai
konsep hidup lainnya yang ada di dalam masyarakat. Selanjutnya
berbagai kebiasaan sosial yang digunakan dalam interaksi
atau pergaulan para anggota di dalam masyarakat tersebut. Selain
itu, berbagai sikap serta peranan yang diperlukan di dalam dunia
pergaulan dan akhirnya berbagai tingkah-laku lainnya termasuk
proses fisiologi, refleks dan gerak atau reaksi-reaksi tertentu
dalam penyesuaian fisik termasuk gizi dan tata-makanan untuk
dapat bertahan hidup.
Proses transmisi meliputi proses-proses imitasi, identifikasi
dan sosialisasi. Imitasi adalah meniru tingkah laku dari sekitar.
Pertama-tama tentunya imitasi di dalam lingkungan keluarga dan
semakin lama semakin meluas terhadap masyarakat lokal. Yang
diimitasi adalah unsur-unsur yang telah dikemukakan di atas.
Transmisi unsur-unsur tidak dapat berjalan dengan sendirinya.
Seperti telah dikemukakan manusia adalah aktor dan manipulator
dalam kebudayaannya. Oleh sebab itu, unsur-unsur tersebut harus
diidentifikasi. Proses identifikasi itu berjalan sepanjang hayat
sesuai dengan tingkat kemampuan manusia itu sendiri. Seorang
bayi, seorang pemuda, seorang dewasa, mempunyai kemampuan
yang berbeda-beda dalam mengidentifikasi unsur-unsur budaya
tersebut. Selanjutnya nilai-nilai atau unsur-unsur budaya tersebut
haruslah disosialisasi artinya harus diwujudkan dalam kehidupan
yang nyata di dalam lingkungan yang semakin lama semakin
meluas. Nilai-nilai yang dimiliki oleh seseorang harus mendapatkan
pengakuan lingkungan sekitarnya. Artinya perilaku-perilaku
tersebut harus mendapatkan pengakuan sosial yang berarti
bahwa perilaku-perilaku yang dimiliki tersebut adalah yang
sesuai atau yang seimbang dengan nilai-nilai yang ada di dalam
lingkungannya.
Rangkaian transmisi berangkat dari imitasi, identifikasi, dan
sosialisasi, berkaitan dengan bagaimana cara mentransimisikannya.
Dalam hal ini ada dua bentuk peran-serta dan bimbingan.
Cara transmisi dengan peran-serta antara lain dengan melalui
perbandingan. Demikian pula peran-serta dapat berwujud ikutserta
di dalam kegiatan sehari-hari di dalam lingkungan masyarakat.
Bentuk bimbingan tesebut melalui pranata-pranata tradisional
seperti inisiasi, upacara-upacara yang berkaitan dengan
tingkat umur, sekolah agama, dan sekolah formal yang sekuler.
Demikianlah proses transmisi kebudayaan sebagai proses
pendidikan yang dikemukakan oleh Fortes. Proses tersebut terjadi
di dalam suatu masyarakat sederhana yang relatif tertutup dari
pengaruh dunia luar. Di dalam dunia terbuka dewasa ini dengan
kemajuan teknologi komunikasi, proses transmisi kebudayaan
yang sederhana tersebut tentunya telah berubah. Data dan informasi
dengan mudah dapat diperoleh sehingga peranan lingkungan
bukan lagi lingkungan sosial yang terbatas tetapi lingkungan
yang mondial. Dengan demikian proses transmisi kebudayaan
di dalam masyarakat modern akan menghadapi tantangan-
tantangan yang berat. Di sinilah letak peranan pendidikan
untuk mengembangkan kepribadian yang kreatif dan dapat
memilih nilai-nilai dari berbagai lingkungan. Dalam hal ini kita
berbicara mengenai keberadaan kebudayaan dunia yang meminta
suatu proses pendidikan yang lain yaitu kepribadian yang kokoh
yang tetap berakar kepada budaya lokal. Hanya dengan kesadaran
terhadap nilai-nilai budaya lokal akan dapat memberikan
sumbangan bagi terwujudnya nilai-nilai global.
3. Pendidikan dan Proses Pembudayaan
Seperti yang telah kita bicarakan mengenai transmisi kebudayaan,
nilai-nilai kebudayaan bukanlah hanya sekadar dipindahkan
dari satu bejana ke bejana berikut yaitu kepada generasi mudanya,
tetapi dalam proses interaksi antara pribadi dengan kebudayaan
betapa pribadi merupakan agen yang kreatif dan bukan pasif. Di
dalam proses pembudayaan terdapat pengertian seperti inovasi
dan penemuan, difusi kebudayaan, akulturasi, asimilasi, inovasi,
fokus, krisis, dan prediksi masa depan serta banyak lagi terminologi
lainnya. Beberapa proses tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut:
65
a. Penemuan atau Invensi
Dua konsep tersebut merupakan proses terpenting dalam
pertumbuhan dan kebudayaan. Hal itu mengingat tanpa penemuan-
penemuan yang baru dan tanpa invensi suatu budaya akan
mati. Biasanya pengertian kedua terminologi ini dibedakan. Suatu
penemuan berarti menemukan sesuatu yang sebelumnya belum
dikenal tetapi telah tersedia di alam sekitar atau di alam semesta
ini. Misalnya di dalam sejarah perkembangan umat manusia terjadi
penemuan-penemuan dunia baru sehingga pemukiman
manusia menjadi lebih luas dan berarti pula semakin luasnya
penyebaran kebudayaan. Selain itu, di dalam penemuan dunia
baru akan terjadi difusi atau proses lainnya mengenai pertemuan
kebudayaan-kebudayaan tersebut. Istilah invensi lebih terkenal di
dalam bidang ilmu pengetahuan.
Dengan invensi maka umat manusia dapat menemukan halhal
yang dapat mengubah kebudayaan. Dengan penemuan-penemuan
melalui ilmu pengetahuan maka lahirlah kebudayaan
industri yang telah menyebabkan suatu revolusi kebudayaan terutama
di negara-negara barat. Kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang begitu pesat telah membuka horizon baru di dalam
kehidupan umat manusia. Ilmu pengetahuan berkembang begitu
cepat secara eksponensial sehingga apa yang ditemukan hari ini
mungkin besok telah usang. Lihat saja misalnya revolusi komputer
yang dapat berkembang setiap saat dan bagaimana peranan
komputer di dalam kehidupan manusia modern. Kita hidup di
abad digital yang serba cepat dan serba terukur. Semua hal ini
merupakan suatu revolusi di dalam kehidupan dan kebudayaan
manusia. Melalui invensi manusia menemukan berbagai jenis
obat-obatan yang mempengaruhi kesehatan dan umur manusia.
Akan tetapi juga melalui kemajuan ilmu pengetahuan manusia
menemukan alat-alat pemusnah massal yang dapat menghancurkan
kebudayaan global.
Invensi teknologi terutama teknologi komunikasi mengubah
secara total kebudayaan dunia. Abad 21 disebut sebagai milenium
teknologi yang akan mempersatukan manusia dan mungkin pula
budayanya. Hal ini mengandung bahaya dengan masafikasi kebudayaan
manusia. Masafikasi kebudayaan dapat berupa komersialisasi
kebudayaan dan konsemuerisme yang berarti pendangkalan
kebudayaan. Selain itu, pendangkalan kebudayaan akan
berakibat dalam pembentukan kepribadian manusia. Seperti kita
lihat, manusia menjadi manusia melalui kebudayaannya. Memanusia
berarti membudaya,. Dapat kita bayangkan bagaimana
jadinya proses memanusia dalam kebudayaan global. Hal ini
berarti manusia akan kehilangan identitasnya dan kepribadiannya
akan berbentuk kepribadian kodian.
Dewasa ini kita mulai mengenal kebudayaan global yang
secara sinis disebut kebudayaan Coca-Cola dan kebudayaan
McDonald. Begitu besarnya pengaruh komunikasi global sehingga
muncul di dalam berbusana misalnya celana jins Levi Strauss serta
komoditi-komoditi lokal lainnya. Sangat mengkhawatirkan justru
kebudayaan global tersebut sangat peka diterima oleh generasi
muda. Hal ini berarti bahaya sedang mengancam nilai-nilai budaya
etnis yang merupakan dasar pengembangan kebudayaan global.
Di pihak lain teknologi komunikasi memungkinkan rekayasa
kehidupan manusia modern. Rekayasa tersebut dimungkinkan
oleh budaya dan kemampuan akal manusia yang terlihat dalam
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian
kebudayaan teknologi telah merupakan suatu syarat mutlak
dalam pengembangan kebudayaan modern. Teknologi telah
menghasilkan penemuan-penemuan baru dan penemuan-penemuan
baru ini akan terus menerus berkembang. Bukan suatu hal
yang tidak mungkin bahwa wajah kehidupan teknologi yang tidak
atau belum dapat kita gambarkan dewasa ini. Apakah kehidupan
kebudayaan pada milenium ketiga merupakan kebudayaan robotik
ataukah kebudayaan yang akan lebih mementingkan harkat
dan budaya manusia tidak ada seorang pun yang akan dapat
memastikannya.
Sudah tentu penemuan-penemuan baru dan invensi-invensi
melalui ilmu pengetahuan akan semakin intens kerana interaksi
dengan bermacam-macam budaya akan bermacam-macam manusia
yang dimiliki oleh seluruh umat manusia. Dengan demikian,
penemuan-penemuan dan invensi baru tidak lagi merupakan
monopoli dari suatu bangsa atau suatu kebudayaan tetapi lebih
menjadi milik dunia. Kebudayan dunia yang akan muncul pada
milenium ketiga dengan demikian perlu diarahkan dengan nilainilai
moral yang telah terpelihara di dalam kebudayaan umat
manusia karena kalau tidak dapat saja manusia itu menuju kepada
66
kehancurannya sendiri dengan alat-alat pemusnah massal yang
diciptakannya.
b. Difusi
Difusi kebudayaan berarti pembauran dan atau penyebaran
budaya-budaya tertentu antara masyarakat yang lebih maju
kepada masyarakat yang lebih tradisional. Pada dasarnya setiap
masyarakat setiap jaman selalu mengalami difusi. Hanya saja
proses difusi pada jaman yang lalu lebih bersifat perlahan-lahan.
Namun hal itu berbeda dengan sekarang dimana abad komunikasi
mampu menyajikan beragam informasi yang serba cepat dan
intens, maka difusi kebudayaan akan berjalan dengan sangat
cepat.
Bagaimanapun juga didalam masyarakat sederhana sekalipun
proses difusi kebudayaan dari barat tetap menyebar. Hal itu dapat
dibuktikan melalui pengamatan Margaret Mead dalam Tilaar
(1999) yang meneliti masyarakat di kepulauan pasifik. Beberapa
waktu setelah pengamatan Mead terhadap masyarakat tersebut
telah terjadi perubahan masyarakat yang cukup berarti. Apa yang
ditemukan oleh Margaret Mead dari suatu masyarakat yang
tertutup dan statis ketika beliau kembali telah menemukan suatu
masyarakat yang terbuka yang telah mengadopsi usnur-unsur
budaya Barat. Lihat saja misalnya apa yang terjadi di negara kita,
bagaimana pengaruh Kebangkitan Nasional terhadap kehidupan
suku-suku bangsa kita. Sumpah Pemuda pada tahun 1928 telah
melahirkan bahasa Indonesia sebagai bahasa kesatuan dan/atau
bahasa nasional yang notabene berasal dari bahasa Melayu dari
puak Melayu yang hidup di pesisir Sumatera. Pengaruh bahasa
Indonesia terhadap kebudayaan di Nusantara sangat besar
sampai-sampai banyak anak-anak sekarang terutama di kota-kota
besar yang tidak lagi mengenal bahasa lokalnya atau bahasa ibu.
Kita memerlukan suatu kebijakan pendidikan untuk memelihara
bahasa ibu dari anak-anak kita.
c. Akulturasi
Salah satu bentuk difusi kebudayaan ialah akulturasi. Dalam
proses ini terjadi pembaruan budaya antarkelompok atau di
dalam kelompok yang besar. Dewasa ini misalnya unsur-unsur
budaya Jawa telah masuk di dalam budaya sistem pemerintahan
di daerah. Nama-nama petugas negara di daerah telah mengadopsi
nama-nama pemimpin di dalam kebudayaan Jawa seperti
bupati, camat, lurah, dan unsure-unsur tersebut telah disosialisasi
dan diterima oleh masyarakat luas. Begitu pula terjadi akulturasi
unsur-unsur budaya antarsub-etnis di Nusantara ini. Proses
akulturasi tersebut lebih dipercepat dengan adanya sistem pendidikan
yang tersentralisasi dan mempunyai kurikulum yang
uniform.
d. Asimilasi
Proses asimilasi dalam kebudayaan terjadi terutama antaretnis
dengan subbudaya masing-masing. Kita lihat misalnya unsur
etnis yang berada di Nusantara kita ini dengan subbudaya
masing-masing. Selama perjalanan hidup negara kita telah terjadi
asimilasi unsur-unsur budaya tersebut. Biasanya proses asimilasi
dikaitkan dengan adanya sejenis pembauran antar-etnis masih
sangat terbatas dan kadang-kadang dianggap tabu. Namun dewasa
ini proses asimilasi itu banyak sulit dihilangkan. Apalagi halhal
yang membatasi proses prejudis, perbedaan agama dan kepercayaan
dapat menghalangi suatu proses asimilasi yang cepat. Di
dalam kehidupan bernegara terdapat berbagai kebijakan yang
mempercepat proses tersebut, ada yang terjadi secara alamiah ada
pula yang tidak alamiah. Biasanya proses asimilasi kebudayaan
yang terjadi di dalam perkawinan akan lebih cepat dan lebih
alamiah sifatnya.
e. Inovasi
Inovasi mengandalkan adanya pribadi yang kreatif. Dalam
setiap kebudayaan terdapat pribadi-pribadi yang inovatif. Dalam
masyarakat yang sederhana yang relatif masih tertutup dari
pengaruh kebudayaan luar, inovasi berjalan dengan lambat.
Dalam masyarakat yang terbuka kemungkinan untuk inovasi
menjadi terbuka karena didorong oleh kondisi budaya yang
memungkinkan. Oleh sebab itu, di dalam masyarakat modern
pribadi yang inovatif merupakan syarat mutlak bagi perkembangan
kebudayaan. Inovasi merupakan dasar dari lahirnya suatu
masyarakat dan budaya modern di dalam dunia yang terbuka
dewasa ini.
67
Inovasi kebudayaan di dalam bidang teknologi dewasa ini
begitu cepat dan begitu tersebar luas sehingga merupakan motor
dari lahirnya suatu masyarakat dunia yang bersatu. Di dalam
kebudayaan modern pada abad teknologi dan informasi dalam
millennium ketiga, kemampuan untuk inovasi merupakan ciri
dari manusia yang dapat survive dan dapat bersaing. Persaingan
di dalam dunia modern telah merupakan suatu tuntutan oleh
karena kita tidak mengenal lagi batas-batas negara. Perdagangan
bebas, dunia yang terbuka tanpa-batas, teknologi komunikasi
yang menyatukan, kehidupan cyber yang menisbikan waktu dan
ruang, menuntut manusia-manusia inovatif. Dengan sendirinya
wajah kebudayaan dunia masa depan akan lain sifatnya.
Betapa besar peranan inovasi di dalam dunia modern,
menuntut peran dan fungsi pendidikan yang luar biasa untuk
melahirkan manusia-manusia yang inovatif. Dengan kata lain,
pendidikan yang tidak inovatif, yang mematikan kreativitas generasi
muda, berarti tidak memungkinkan suatu bangsa untuk bersaing
dan hidup di dalam masyarakat modern yang akan datang.
Dengan demikian, pendidikan akan menempati peranan sentral di
dalam lahirnya suatu kebudayaan dunia yang baru.
f. Fokus
Konsep ini menyatakan adanya kecenderungan di dalam
kebudayaan ke arah kompleksitas dan variasi dalam lembaga-lembaga
serta menekankan pada aspek-aspek tertentu. Artinya berbagai
kebudayaan memberikan penekanan kepada suatu aspek tertentu
misalnya kepada aspek teknologi, aspek kesenian seperti
dalam kebudayaan Bali, aspek perdagangan, dan sebagainya. Proses
pembudayaan yang memberikan fokus kepada teknologi
misalnya akan memberikan tempat kepada pengembangan teknologi
kesempatan yang seluas-luasnya untuk berkembang. Tidak
jarang terjadi dengan adanya fokus terhadap teknologi maka nilainilai
budaya yang lain tersingkirkan atau terabaikan. Hal ini tentu
merupakan suatu bahaya yang dapat mengancam kelanjutan
hidup suatu kebudayaan. Dalam dunia pendidikan hal ini sudah
terjadi seperti di Indonesia. Dunia barat yang telah lama memberikan
fokus kepada kemampuan akal, menekankan kepada
pembentukan intelektualisme di dalam sistem pendidikannya.
Dengan demikian aspek-aspek kebudayaan yang lain seperti nilainilai
moral, lembaga-lembaga budaya primer seperti keluarga,
cenderung mulai diabaikan. Ikatan dalam lembaga keluarga mulai
longgar, peraturan-peraturan seks mulai dilanggar dengan adanya
kebebasan seks dan kebebasan pergaulan. Sistem pendidikannya
dengan demikian telah terpisahkan atau teralienasi dari totalitas
kebudayaan.
Tentu saja kita dapat memberikan fokus tertentu kepada
pengembangan ilmu pengetahuan asal saja dengan fokus tersebut
tidak mengabaikan kepada terbentuknya manusia yang utuh
seperti yang telah diuraikan di muka. Kebudayaan yang hanya
memberikan fokus kepada teknologi akan menghasilkan menusiamanusia
robot yang tidak seimbang, yang bukan tidak mungkin
berbahaya bagi kelangsungan hidup kebudayaan tersebut.
Dalam proses pembudayaan melalui fokus itu kita lihat betapa
besar peranan pendidikan. Pendidikan dapat memainkan peranan
penting di dalam terjadinya proses perubahan yang sangat
mendasar tersebut tetapi juga yang dapat menghancurkan
kebudayaan itu sendiri.
g. Krisis
Konsep tersebut merupakan konsekuensi akibat proses akulturasi
kebudayaan. Suatu contoh yang jelas timbulnya krisis di
dalam proses westernisasi terhadap kehidupan budaya-budaya
Timur. Sejalan dengan maraknya kolonialisme ialah masuknya
unsur-unsur budaya Barat memasuki dunia ketiga. Terjadilah proses
akulturasi yang kadang-kadang menyebabkan hancurnya
kebudayaan lokal. Timbul krisis yang menjurus kepada hancurnya
sendi-sendi kehidupan orisinil. Lihat saja kepada krisis moral
yang terjadi pada generasi muda yang diakibatkan oleh masuknya
nilai-nilai budaya Barat yang belum serasi dengan kehidupan
budaya yang ada. Keluarga mengalami krisis, peranan orang tua
dan pemimpin mengalami krisis. Krisis kebudayaan tersebut akan
lebih cepat dan intens di dalam era komunikasi yang pesat.
Krisis dapat menyebabkan dis-organisasi sosial misalnya
dalam gerakan reformasi total kehidupan. Bangsa Indonesia
dewasa ini di dalam memasuki era reformasi menghadapi suatu
era yang kritis karena masyarakat mengalami krisis kebudayaan.
Apabila gerakan reformasi tidak diarahkan sebagai suatu gerakan
moral maka gerakan tersebut akan kehilangan arah. Gerakan
68
reformasi akan menyebabkan krisis sosial, krisis ekonomi dan
berbagai jenis krisis lainnya. Oleh sebab itu, gerakan reformasi
total dewasa ini perlu diarahkan dan dibimbing oleh nilai-nilai
moral yang hidup di dalam kebudayaan bangsa Indonesia. Dalam
kaitan ini peranan pendidikan sangat menentukan karena pendidikan
didasarkan kepada nilai-nilai moral bangsa dalam jangka
panjang akan memantapkan arah jalannya reformasi tersebut.
Dalam jangka panjang pendidikan akan menentukan pencapaian
tujuan dari reformasi itu sendiri.
h. Visi Masa Depan
Suatu hal yang baru dalam proses pembudayaan dewasa ini
ialah peranan visi masa depan. Terutama dalam dunia global
tanpa-batas dewasa ini diperlukan suatu visi ke arah mana masyarakat
dan bangsa kita akan menuju. Tanpa visi yang jelas yaitu visi
yang berdasarkan nilai-nilai yang hidup di dalam kebudayaan
bangsa (Indonesia), akan sulit untuk menentukan arah perkembangan
masyarakat dan bangsa kita ke masa depan, atau pilihan
lain ialah tinggal mengadopsi saja apa yang disebut budaya global.
Mengadopsi budaya global tanpa dasar kehilangan identitasnya.
Di sinilah letak peranan pendidikan nasional untuk meletakkan
dasar-dasar yang kuat dari nilai-nilai budaya yang hidup
di dalam masyarakat Indonesia yang akan dijadikan pondasi
untuk membentuk budaya masa depan yang lebih jelas dan
terarah.
D. Sekilas tentang Perubahan Sosial
Masyarakat manusia di manapun tempatnya pasti mendambakan
kemajuan dan peningkatan kesejahteraan yang optimal.
Kondisi masyarakat secara obyektif merupakan hasil tali temali
antara lingkungan alam, lingkungan sosial serta karakteristik
individu. Ketiga-tiganya selalu berhubungan antara satu sama lain
sehingga membentuk sebuah bangunan masyarakat yang dapat
dilihat sebagai sebuah realitas sosial. Perjalanan panjang dalam
rentangan periode kesejarahan telah mengajak masyarakat manusia
menelusuri hakikat kehidupan dan tata cara kehidupan yang
berkembang pesat. Kemampuan akal budi sebagai instrumen
unggulan manusia telah melahirkan beraneka ragam karya cipta
melesat melampaui aspek-aspek material dilingkungan luarnya.
Dengan demikian, senjata pamungkas tersebut rupanya berperan
besar menafsirkan realitas sosial yang selama ini dipandang sebagai
kenyataan alamiah yang steril dari kemungkinan intervensi
kekuatan manusia.
Kiranya semenjak diakuinya kemampuan akal mengungkap
kekuatan alam, secara perlahan-lahan kalangan pemikir mulai
melirik masyarakat sebagai obyek yang mampu dipahami gejalagejalanya
lalu dikendalikan dan disusun rekayasa sosial berdasarkan
pemahaman menyeluruh tentang kondisi obyektif msayarakat
tersebut.
Lahirnya ilmu-ilmu sosial khususnya sosiologi manandai
bahwa masyarakat sebagai kenyataan kini dipahami seperti
sebuah benda yang bisa “diutak-atik”. Begitu pula tentang perubahan
sosial, terlepas dari berbagai definisi perubahan sosial,
pada hakikatnya telah mampu mengungkap hukum-hukum dan
antisipasi proses-proses sehingga mampu memberikan kontribusi
terhadap peradaban manusia.
Apabila perubahan sosial dipahami sebagai suatu bentuk
peradaban manusia akibat adanya ekskalasi perubahan alam,
biologis maupun kondisi fisik maka pada dasarnya perubahan
sosial merupakan sebuah keniscayaan yang terjadi sepanjang
hidup. Ruang gerak perubahan itupun juga berlapis-lapis, dimulai
dari kelompok terkecil seperti keluarga sampai pada kejadian
yang paling lengkap mencakup tarikan kekuatan kelembagaan
dalam masyarakat.
Perubahan sosial sebagai “cetak biru” pemikiran, pada akhirnya
akan memiliki manfaat untuk memahami kehidupan manusia
dalam kaitan dengan lingkungan kebudayaannya. Kehidupan
manusia adalah satuan sosial terkecil, dalam pola belajarnya akan
berhadapan dengan tiga sistem aktivitas. Menurut Peter Senge,
2000 (dalam Salim, 2002) bahwa manusia akan menjumpai (1)
ruang kelas dalam sekolah: manusia akan belajar dalam lingkungan
kelas sehingga melibatkan unsur guru, orang tua dan murid.
(2) Lingkungan sekolah: manusia akan belajar dalam lingkungan
sekolah sehingga melibatkan unsur kepala sekolah, kelompok
pengajar, murid di kelas lain dan pegawai administrasi. (3) lingkungan
komunitas masyarakat: manusia akan belajar dari lingkungan
komunitasnya sehingga mencakup peran serta masyarakat,
kelompok-kelompok belajar sepanjang hidup, birokrasi
69
yang mendukung, sumber informasi yang luas dan beragam dll.
Dengan begitu kehidupan manusia tidak dapat dilepas dari peran
ketiga lingkungan sistem aktivitas belajar dan mencermati dirinya,
terbentuknya kesadaran, pengalaman yang menggelitas dan keberanian
untuk mulai menapak menggunakan potensi yang dimilikinya.
Analogi dengan pemikiran itu, apa yang dapat dinyatakan
dengan lengkap, perubahan sosial adalah suatu proses yang luas,
lengkap yang mencakup suatu tatanan kehidupan manusia. Perubahan
sosial tidak hanya dilihat sebagai serpihan atau kepingan
dari peristiwa sekelompok manusia tetapi fenomena itu menjadi
saksi adanya suatu proses perubahan empiris dari kehidupan
umat manusia.
Oleh karena itu daya serap perubahan sosial akan selalu
merembes ke segala segi kehidupan yang dihuni oleh manusia,
khususnya dalam sektor pendidikan. Perubahan sosial akan mempengaruhi
segala aktivitas maupun orientasi pendidikan yang
berlangsung. Intervensi kekuatan proses tersebut juga mencakup
semua proses pendidikan yang terjadi di berbagai sektor lain
masyarakat. Baik dari tingkat basis keluarga sampai interaksi
antar pranata sosial. Sebagai bagian dari pranata sosial, tentunya
pendidikan akan ikut terjaring dalam hukum-hukum perubahan
sosial yang terjadi di dalam masyarakat.
Sebaliknya, pendidikan sebagai wadah pengembangan kualitas
manusia dan segala pengetahuan tentunya menjadi agen penting
yang ikut menentukan perubahan sosial masyarakat ke
depan. Karena perubahan sosial mengacu pada kualitas masyarakat
sementara kualitas masyarakat tergantung pada kualitas
pribadi-pribadi anggotanya maka tentunya lembaga pendidikan
memainkan peranan yang cukup signifikan menentukan sebuah
perubahan sosial yang mengarah kemajuan.
Mengingat begitu eratnya keterkaitan perubahan sosial
dengan pendidikan maka pembahasan perubahan sosial menempati
ruang tersendiri dalam analisa sosiologi pendidikan. Sebagai
bagian dari gejala sosial maka upaya untuk mengupas perubahan
sosial akan tetap merujuk pada ilmu induk yang menaunginya
yakni sosiologi.
1. Teori Perubahan Sosial
Berbicara mengenai perubahan sosial tidak lepas dari konteks
filsafat barat, yaitu suatu pandangan terhadap kemajuan manusia
dalam masyarakat yang ditimbulkan oleh kemajuan masyarakatnya.
Ilmu pengetahuan yang berasal dari barat ditopang oleh dua
kelompok pemikiran utama yaitu filsafat yunani dan perilaku
kehidupan ke-kristenan yang sifatnya progresif dan perfeksionistis.
Dalam filsafat yunani intinya memiliki beberapa pemikiran
yang sifatnya konsisten menghubungkan perilaku manusia dalam
kehidupan sehari-hari. Dimana masyarakat yunani mengutamakan
prinsip empiris yang menghubungkan perilaku manusia
dalam alam lingkungannya. Lingkungan alam sebagai obyek terdekat
manusia menjadi pusat rujukan kesadaran memahami
dunia. Dengan melihat hukum pertumbuhan dalam makhluk
hidup maupun gejala-gejala luar, manusia Yunani mengadopsi
proses-proses alamiah tersebut diterjemahkan dalam kehidupannya.
Pertumbuhan memerlukan arah yang berujung pada kematangan
atau kesempurnaan. Dari sini manusia mengenal tentang
konsep hasil sebagai buah dari aktivitas usaha yang bertujuan.
Selama itu pula, manusia yunani mulai mengenal konsep waktu
dengan merasakan bagaimana daun itu tumbuh yang memerlukan
sinar matahari. Pada akhirnya dipahami hasil dari pengamatan
bahwa kehidupan biologi memiliki pola pertumbuhan yang
sifatnya umum. Proses yang berlangsung selama pertumbuhan itu
berlangsung juga berangkat dari tahapan-tahapan tertentu yang
bisa dijadikan sebagai hukum perkembangan. Bagitulah kiranya
uraian singkat mengenai empirisme orang Yunani yang berhasil
menarik paradigma masyarakat barat menjadi kiblat pemikiran
utama.
Pada konsep hidup kristiani, dinyatakan bahwa manusia
sebagai individu tumbuh melalui arah serta pola tertentu. Pertumbuhan
manusia sebagai individu mengarah pada kesempurnaan.
Gagasan berubah secara gradual melalui tahap-tahap tertentu.
Kedua sumber tersebut nampaknya memiliki kesamaan memicu
pemikiran rasionalisitik yang menghinggapi masyarakat eropa
barat.
70
Keyakinan utama yang selama ini diterima dikalangan
masyarakat menyatakan bahwa perubahan dalam masyarakat
terjadi dari masyarakat transisi menjadi masyarakat “maju” yaitu
masyarakat industrial-modern.
Selama ini pengkajian teori-teori sosial klasik ada tiga tokoh
utama yang membuat teori dasar tentang perubahan masyarakat,
mereka adalah Karl Marx, Emile Dhurkiem dan Max Weber.
Kelompok teoritikus lain yang sejaman maupun penerus mereka
akan menjadi bagian dari tiga kekuatan gerbong pemikiran besar
dari ketiga tokoh pemikir tersebut.
a. Teori Perubahan Sosial:Menurut Teori Klasik
Teori sosiologi klasik muncul dari tiga tokoh (Karl Marx, Max
Weber, dan Emile Durkhiem). Tokoh-tokoh tersebut secara khusus
menjadi peletak dasar dari konstruksi teori yang nantinya menjadi
induk perkembangan teori-teori sosiologi. Dalam memahami
perubahan sosial ketiga tokoh ini berusaha memahami fenomena
perubahan secara radikal terutama untuk masyarakat barat yang
sedang beralih dari struktur agraris ke struktur industri.
Meskipun pemikiran ketiga tokoh pendiri sosiologi tersebut
menunjukkan kiblat eropa baratnya, namun kalangan akademisi
di Indonesia tetap menampilkan ketiga tokoh tersebut dalam
membicarakan beragam fenomena sosial.
Ketiga tokoh itu merupakan peletak dasar ilmu sosiologi,
yang muncul di eropa pada awal abad ke 19. Pemikiran mereka
membawa khasanah berpikir ilmu-ilmu sosial, khususnya sosiologi
memasuki babakan baru sejarah manusia yang bernama
‘modernisasi’. Ketiga tokoh ilmu sosial itu melahirkan pemikiran
hampir secara bersama-sama, ketika terjadi proses industrialisasi
pertama di Inggris, yaitu ketika mesin-mesin industri mulai
dimanfaatkan untuk menggantikan keberadaan tenaga manusia.
Dalam kaitan dengan proses industrialisasi juga mulai dirasakan
perubahan pada pola hubungan antar individu manusia.
Proses perubahan sosial yang meluas juga mulai dirasakan sampai
pada sendi-sendi kehidupan agraris masyarakat negara berkembang.
Negara-negara tersebut juga merasakan seperti yang pernah
dialami oleh kalangan negara maju seabad yang silam, dengan
demikian pernik-pernik pemikiran ketiga tokoh ilmu sosial itu
masih memiliki kekuatan generalisasi terhadap kehidupan masyarakat
di negara berkembang.
1) Karl Marx (1818-1883)
Uraian tentang Marx ini sebagian besar disarikan dari buku
Kapitalisme dan Teori Sosial Modern yang ditulis oleh Anthony
Giddens (1985). Pada dasarnya sumber pemikiran dari filsafat
Marx banyak terinspirasi dari Hegel dan Imanuel Kant. Dari Kant,
Marx berhutang mengenai prinsip bahwa hakikatnya manusia
berangkat dari kesempurnaan tetapi di dalam dunia dia masuk
pada alam yang serba terbatas, kotor dan tidak suci. Disini untuk
mewujudkan kembali kebenaran dan kesucian manusia menjadi
tugasnya untuk memperjuangkan nilai-nilai hakiki manusia
dalam tatanan kehidupan.
Sementara dari Hegel, Marx berhutang mengenai falsafah
dialektika. Bahwa hukum kebenaran selalu berangkat dari proses
dialektis (saling bertentangan untuk menyempurnakan). Sebuah
tesis pernyataan kebenaran akan dipertentangkan kelemahannya
dengan antitesis. Proses pertentangan antara tesis dan antitesis
pada akhirnya akan menghasilkan kebenaran baru yang lebih
relevan sebagai perpaduan kedua kebenaran terdahulu.
Sampai beberapa waktu berikutnya Marx masih mengacu
pada pemikiran Hegel yang selalu mengasumsikan tentang dua
hal yang kontradiktif kemudian dapat ditemukan sintesisnya
sehingga berwujud dialektika. Pemikiran tentang dialektika ini
bernada evolusionis (menuju kesempurnaan), demikian pula kehidupan
dengan sendirinya selalu dibayangkan bergerak mencapai
kesempurnaan.
Tetapi dalam perkembangannya Marx berubah, menurutnya
Emanuel Kant dan Hegel adalah orang yang idealis, terlalu menerawang,
apa yang mereka pikirkan justeru tidak nyata. Ide yang
ditawarkan adalah pikiran itu sendiri, sehingga gagal untuk
bersenyawa dengan kenyataan-kenyataan empiris.
a) Tentang Materialisme
Bagi Marx kontradiksi harus pula terjadi di tingkat sejarah
yang bertolak dari materi (bukan dari pemikiran). Konsep Marx
yang kemudian dikenal sebagai Materialisme Historis, mengung71
kap bahwa perilaku manusia ditentukan oleh kedudukan
materinya bukan pada idea karena ide juga bagian dari materi
pula.
b) Tentang Sistem Ekonomi
Dalam konsep Marx sistem ekonomi memiliki 4 unsur. Sebagaimana
dikutip Salim (2002) sistem tersebut meliputi: (1) sistem
produksi, (2) sistem distribusi, (3) sistem perdagangan dan (4) sistem
konsumsi.
(1) Sistem produksi, berarti menyangkut seluruh proses produksi
barang-barang konsumsi. Di dalam sistem ini meliputi proses
pembuatan bahan sampai menjadi barang baru, lalu
dilanjutkan reproduksi barang-barang tersebut sehingga bisa
menghasilkan keuntungan.
(2) Sistem distribusi. Usaha untuk meneruskan dari tempat
produksi menuju ke wilayah konsumen.
(3) Sistem perdagangan. Merupakan proses pertukaran barang
yang telah diproduksi.
(4) Sistem konsumsi. Semua unsur yang ikut terlibat dalam
konsumsi suatu barang hasil produksi.
Semua unsur-unsur diatas tercakup dalam suatu hubungan
sosial berwujud relasi sosial dari mode produksi.
Mengingat Marx berpijak pada masyarakat industri maka
konsep sistem ekonominya terfokus membahas hubungan kerja
antara pemilik modal dan buruh. Intinya melalui relasi sosial dari
mode produksi industri ternyata lebih banyak menguntungkan
para pemilik modal sendiri. Buruh selain harus bekerja keras
dengan upah yang minim juga menggadaikan semua potensi
kemanusiaan termasuk jaminan untuk tetap hidup. Dalam hal ini
perlu ada upaya untuk menuntut keadilan sosial agar penindasan
para pemilik modal tidak berlarut-larut. Hal itu bisa dilakukan
dengan mengubah mode produksi yang tadinya memihak kelas
kapitalis menjadi mode produksi yang berbasis dari kaum
tertindas (para pekerja).
c) Tentang Surplus Value
Konsep ini lebih mengupas tentang keuntungan berlebih
yang seharusnya menjadi hak para buruh. Namun karena
kekuasaan alat-alat produksi maka hak itu diambil alih secara
sepihak oleh pemilik modal. Sebagaimana diungkap oleh Salim
(2002), ada dua keuntungan yang diperoleh pengusaha yaitu:
(1) Keuntungan utama, yang diperoleh melalui sisa waktu lebih
dari kerja buruh. Namun dalam prosesnya buruh tidak pernah
menerimanya sehingga tidak merasa dirugikan. Sehingga
keuntungan itu diraup oleh pengusaha dan secara sepihak
dianggap sebagai haknya yang sah.
(2) Keuntungan sekunder, yakni ukuran harga jual barang hasil
produksi dengan mengacu pada biaya produksi, tanpa
memperhitungkan harga tenaga yang dikeluarkan oleh buruh.
Dalam kondisi tersebut sebenarnya telah terjadi penghisapan
secara terselubung, yang dari masa ke masa senantiasa
menyulitkan posisi buruh dalam menuntut haknya.
d) Dinamika Perubahan Sosial Menurut Marx
Acuan konsep materialisme historis telah menegaskan bahwa
sejarah perubahan dan perkembangan manusia selalu berlandaskan
pada kondisi sejarah kehidupan material manusia. Dalam hal
ini mode produksi, sebagai basis ekonomi dan infrastruktur
masyarakat sangat mempengaruhi proses hubungan-hubungan
sosial yang terjadi.
Uraian refleksi sejarah masyarakat menurut Marx berangkat
dari masyarakat primitif tanpa kelas. Lalu disusul masyarakat
feodalis, dimana kapitalisme dalam tahap awal sudah mulai
nampak. Kemudian masyarakat akan beranjak menuju masyarakat
industrialis kapitalis, dimana sumber daya kekuatan ekonomi
telah dikuasai oleh para pemilik modal dan melangsungkan
serangkaian proses penghisapan yang merugikan kalangan
pekerja. Pada akhirnya, asumsi Marx menyatakan bahwa kapitalisme
akan menemui kehancurannya sendiri, dan segera
masyarakat pekerja mampu mengambil alih perangkat-perangkat
produksi. Dalam tahap selanjutnya seluruh sumber daya yang ada
menjadi milik bersama dan masyarakat telah berkembang menjadi
masyarakat komunis. Dalam masyarakat tersebut penggambaran
Marx menekankan bahwa pola pikir masyarakat sangat rasional
dimana dalam struktur kehidupan sudah bertahtakan ilmu
pengetahuan dan teknologi tinggi. Sumber daya material itu tidak
72
merugikan pihak-pihak tertentu karena struktur sosial sudah
menghapus kelas sebagai sarang diskriminasi dan ketidakadilan.
Dari paparan diatas, maka secara garis besar dapat ditangkap
beberapa formulasi penting menurut Marx mengenai dinamika
perubahan sosial :
(1) Perubahan sosial berpusat pada kemajuan cara atau teknik
produksi material sebagai sumber perubahan sosial-budaya.
Pengertian tersebut meliputi pula perkembangan teknologi
dan penemuan sumber daya baru yang berguna dalam
aktivitas produksi. Bagi Marx, teknologi tinggi tidak dapat
menghadirkan kesejahteraan sebelum semuanya dikuasai
langsung oleh kaum pekerja. Justeru teknologi menjadi petaka
apabila masih bernaung dibawah kekuatan para pemilik
modal.
(2) Dalam perubahan sosial selain kondisi material dan cara
berproduksi, maka yang patut diperhatikan adalah hubungan
sosial beserta norma-norma kepemilikan yang tersusun berkat
keberadaan sumberdaya di tangan pemilik modal. Harapan
yang diinginkan bahwa tahap kehidupan komunal menjanjikan
masyarakat manusiawi. Dimana motif dan ambisi individual
berganti menjadi solidaritas bersama yang menempatkan
pemerataan sebagai landasan berkehidupan.
(3) Asumsi dasar dari hukum sosial yang bisa ditangkap bahwa
manusia menciptakan sejarah materialnya sendiri, selama ini
mereka berjuang menghadapi lingkungan materialnya dan
terlibat dalam hubungan-hubungan sosial yang terbatas dalam
proses pembentukannya. Kemampuan manusia untuk
membentuk sejarah dibatasi oleh keadaan lingkungan material
dan sosial yang telah ada.
Dari ketiga formulasi tersebut bagi Marx, perubahan sosial
hanya mungkin terjadi karena konflik kepentingan materiil. Konflik
sosial dan perubahan sosial menjadi satu pengertian yang
setara, karena perubahan sosial berasal dari adanya konflik kepentingan
material tersebut akan melahirkan perubahan sosial.
2) MaxWeber (1864-1920)
Paparan yang terurai dari penjelasan tentangWeber di bawah
ini sebagian besar diambil dari buku Teori Sosiologi Klasik dan
Modern karangan Doyle Paul Johnson (1986).
Suatu sumbangsih pemikiran yang paling dikenal oleh publik
berkaitan dengan Weber dalam sosiologi adalah telaah Weber
yang cukup detail membahas kiprah akal budi (rasio) yang
dominan dalam masyarakat barat. Dalam masyarakat barat model
rasionalisme akan mewarnai semua aspek kehidupannya. Orang
barat tampaknya hidup operational-teknis sehingga perilakunya
bisa diperbaiki secara terus menerus. Menurut Weber, bentuk
“rationale” meliputi “mean” (alat) yang menjadi sasaran utama
dan “ends” yang meliputi aspek kultural, sehingga dapat dinyatakan
bahwa pada dasarnya orang barat hidup dengan pola
pikiran rasional yang ada pada perangkat alat yang dimiliki dan
kebudayaan yang mendukung kehidupannya. Orang rasional
akan memilih mana yang paling benar untuk mencapai tujuannya.
a) Tentang Rasionalitas
Dalam pemikiran Weber rasionalitas meliputi empat macam
model yang hadir di kalangan masyarakat. Rasionalitas ini dapat
berdiri sendiri namun juga bisa integral secara bersama menjadi
acuan perilaku masyarakat. Sebagaimana dituangkan oleh Doyle
Paul Johnson (1986), rasionalitas menurut Weber meliputi:
(1) Rasionalitas tradisional: jenis nalar yang mengutamakan acuan
perilaku berdasarkan dari tradisi kehidupan masyarakat.
Disetiap masyarakat seringkali diketemukan aplikasi nilai
yang merujuk dari nilai-nilai tradisi kehidupan. Hal ini berdampak
pada kokohnya norma hidup yang diyakini bersama.
Contohnya: Upacara perkawinan yang menjadi tradisi hampir
semua kelompok etnis di Indonesia.
(2) Rasionalitas berorientasi nilai: suatu kondisi kesadaran yang
menghinggapi masyarakat dimana nilai menjadi pedoman
perilaku meski tidak aktual dalam kehidupan sehari-hari. Jenis
rasio ini biasanya banyak dipengaruhi oleh peresapan nilai
keagamaan dan budaya yang benar-benar mendalam. Sebagai
contoh: orang bekerja keras-membanting tulang di kota besar,
kemudian setahun sekali tabungan uang habis untuk mudik
kedaerah asal.
(3) Rasionalitas Afektif: jenis rasio yang bermuara dalam hubungan
emosi yang mendalam, dimana ada relasi hubungan khusus
yang tidak bisa diterangkan diluar lingkaran tersebut. Contohnya:
hubungan suami-istri, ibu-anak dan lain sebagainya.
73
(4) Rasionalitas Instrumental. Bentuk rasional menurut Weber
yang paling tinggi dengan unsur pertimbangan pilihan
rasional sehubungan dengan tujuan dan alat yang dipilihnya.
Disetiap komunitas masyarakat, kelompok masyarakat, etnik
tertentu, ada banyak unsur rasionalitas yang dimiliki dari
banyak segi rasionalitas tersebut hanya ada satu unsur
rasionalitas yang paling populer, yang banyak diikuti oleh
masyarakatnya. Sebagai contoh: rasionalitas ekonomi sering
menjadi pilihan utama di banyak masyarakat. Sepanjang
sejarah kehidupan rasionalitas ini bisa menggerakkan banyak
perubahan sosial-mengubah perilaku kehidupan orang-perorang
secara kontekstual.
b) Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme
Dua bentuk semangat ini merupakan hasil telaahan Weber
mengamati bentuk kemajuan awal kapitalisme di eropa barat yang
mendapat dorongan dari ajaran protestan secara bersamaan.
Masyarakat barat yang dikenal mengunggulkan rasionalitas
instrumental (yakni rasionalisme yang paling tepat-guna/efisien
serta efektif demi mencapai tujuan) hadir bersama-sama dengan
etika protestan.
Weber menekankan bahwa karakteristik ajaran protestan
yang mendukung masyarakat yakni, melihat kerja sebagai
panggilan hidup. Bekerja tidak sekedar memenuhi keperluan,
tetapi tugas yang suci. Bekerja adalah juga pensucian sebagai
kegiatan agama yang menjamin kepastian akan keselamatan,
orang yang tidak bekerja adalah mengingkari sikap hidup agama
dan melarikan diri dari agama. Dalam kerangka pemikiran
teologis seperti ini, maka ‘semangat kapitalisme’ yang bersandar
pada cita-cita ketekunan, hemat, berpenghitungan, rasional dan
sanggup menahan diri menemukan pasangannya.
Dengan demikian terjalinlah hubungan antara etika protestan
dengan semangat kapitalisme, hal ini dimungkinkan oleh proses
rasionalisasi dunia, penghapusan usaha magis, yaitu suatu manipulasi
kekuatan supernatural, sebagai alat untuk mendapatkan
keselamatan.
Perkembangan rasionalisme masyarakat sesuai dengan konsepsi
Weber bergerak dari jenis-jenis rasional sesuai tahap-tahap
tertentu. Pada awalnya, model rasionalitas bermula dari masyarakat
agraris lalu menuju masyarakat industri.
c) Tentang Birokrasi
Birokrasi merupakan agen perubahan sosial. Menurut Weber,
birokrasi meliputi birokrasi pemerintah maupun birokrasi yang
dikelola oleh kaum swasta. Semua produk asumsi mengenai
birokrasi acuan Weber, yakni birokrasi merupakan produk berpikir
barat yang dibangun azas kemodernan sehingga sesuatu
yang barat adalah rasional. Konsepsi birokrasi adalah sistem kerja
yang memberi wewenang untuk menjalankan kekuasaan. Birokrasi
berasal dari dua konsep kata (bureau + cracy). Beareau adalah
kantor yang menjadi alat dari manusia dalam hal ini adalah
seperangkat peran yang menghasilkan basis kekuasaan dengan
berlandaskan pada aturan-aturan yang baku. Cracy adalah
kekuatan yang kemudian menghasilkan kewibawaan. Birokrasi
bagi Weber merupakan hasil dari tradisi rasional masyarakat barat
yang dicerminkan ke dalam aplikasi lembaga kerja manusia yang
mengurusi segala keperluan teknis untuk memudahkan pelayanan
kepada publik atau konsumen.
3) Emile Durkhiem (1858-1912)
Penjelasan konsepsi pemikiran Emile Durkhiem berikut ini
diangkat dari dua sumber sebelumnya, yakni Doyle Paul Johnson
(1986) dalam judul Teori Sosiologi Klasik dan Modern dan
Anthony Giddens (1985) berjudul Kapitalisme dan Teori Sosial
Modern.
Dari ketiga tokoh pendiri sosiologi maka sesungguhnya
Durkhiem-lah yang merintis konsepsi tentang keteraturan sosial.
Hal tersebut berangkat dari kekhawatiran Durkhiem melihat
ketidakpastian dan kekacauan masyarakat barat pasca revolusi.
Akibat revolusi industri yang berlangsung di Inggris dan daratan
Eropa, mengakibatkan perubahan sosial yang sangat cepat dan
meminta banyak korban. Emile Durkhiem merisaukan keadaan itu
terutama yang terjadi di Perancis. Perubahan yang terlalu cepat
dan radikal membawakan akibat dalam sekup sosial kecil maupun
ancaman tatanan sosial makro. Untuk mengatasi dampak perubahan
yang sangat cepat itu ia menawarkan kajian sosiologi peru74
bahan sosial yang merupakan hasil rekayasa dan perubahan sosial
yang stabil dengan tetap berafiliasi kepada status quo.
a) Pendekatan Sistem
Pembahasan ini sebenarnya berfungsi untuk mengantisipasi
agar ketidakpastian masyarakat tidak semakin parah. Masyarakat
diibaratkan seperti organisme hidup, yang dapat dianalisa dengan
penjelasan sebuah struktur yang saling berfungsi. Dalam hal ini
organisme hidup maksudnya makhluk hidup seperti juga
manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan memiliki organisme yang
hidup dalam satu tatanan sistem, masing-masing organ akan
memiliki fungsi sendiri-sendiri dan tidak dapat dipisahkan satu
sama lain. Jika satu organ tidak berfungsi maka akan membuat
organ lain macet atau terganggu. Oleh karena itu asumsi-asumsi
yang dibangun dalam pendekatan sistem adalah:
(1) Suatu keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagiannya secara
totalitas yang menggambarkan suatu sistem yang utuh.
(2) Masing-masing bagian memiliki fungsi yang saling mengisi
untuk mendukung eksistensi sistem.
(3) Terdapat sebuah hubungan antara subsistem secara terpadu
dan kokoh. 4). Kekokohan hubungan antar unsur memberikan
tingkat ketergantungan yang sangat tinggi antar elemen.
Melihat penekananya pada hubungan yang saling mengisi
dalam keterpaduan sistemik, maka pendekatan sistem menganggap
bahwa perubahan sosial merupakan kondisi abnormal, karena
disinyalir proses-perubahan merupakan cerminan dari goyahnya
keseimbangan unsur di dalam sistem sosial, oleh karena itu unsurunsur
di dalam sistem tersebut perlu mengupayakan kondisi
seperti sedia kala agar aktivitas unsur-unsur lain tidak terganggu.
Sehingga di dalam pendekatan sistem menekankan hal-hal:
(1) Equilibrium atau keseimbangan. Yaitu suatu keadaan dimana
diutamakan terjadinya keseimbangan kekuatan sehingga tidak
terjadi perubahan sosial yang mengarah pada penghancuran
sistem yang ada.
(2) Faktor eksternal, yakni faktor-faktor di luar sistem yang diproyeksikan
selalu menjadi penyebab utama proses perubahan
sosial.
(3) Konsensus, yaitu proses pencapaian kesepakatan sosial dari
orang-orang atau lembaga yang terlibat dalam konflik sosial.
b) Teori Perubahan Sosial
Durkhiem adalah penganut teori perubahan sosial bertahap,
mengenal dua tahap perkembangan masyarakat yang disebut
dengan evolusionistic unilinear. Menurut Durkhiem, dengan
perspektif struktural fungsional, menyatakan bahwa struktur yang
pertama kali berubah adalah struktur penduduk. Perubahan ini
akan menyeret perubahan lain. Pada awalnya memang selalu
bertolak dari kondisi yang seimbang. Tetapi proses waktu yang
berkembang menjadikan populasi jumlah penduduk meningkat
pesat. Terjadi perubahan penduduk, yaitu tingkat kepadatan
penduduk, menjadikan kondisi yang tidak seimbang.
Konsep Emile Durkhiem mengenai perubahan sosial bertolak
dari konsepsi pembagian kerja, yang menyatakan bahwa proses
pembagian kerja berkembang karena lebih banyak individu dapat
berinteraksi satu sama lain. Hubungan aktif berasal dari “kepadatan
dinamis atau moral” masyarakat, menjadi dua sifat utama.
Pertama kepadatan yang bersifat demografis, yakni bersumber
pada konsentrasi penduduk, terutama beriringan dengan perkembangan
kota. Kedua kepadatan yang bersifat teknis akibat meningkatnya
alat-alat komunikasi dan transportasi secara cepat. Dengan
berkurangnya ruang yang memisahkan segmen sosial, maka
kepadatan masyarakat akan meningkat. Karena itu faktor utama
penyebab pertumbuhan pembagian kerja adalah meningkatnya
kepadatan (moral) masyarakat. Proses pembagian kerja itu
memiliki mekanisme tertentu, bagaimana peningkatan kepadatan
moral pada umumnya meningkatkan jumlah penduduk, menghasilkan
peningkatan diferensiasi sosial atau pertumbuhan pembagian
kerja.
Bagi Durkhiem kepadatan penduduk yang maksimal
mengakibatkan persaingan dan kompetisi dikalangan penduduk
menjadi sangat ketat. Hal itu memicu anggota masyarakat untuk
menciptakan lapangan kerja baru yang menimbulkan spesialisasi
kerja. Hubungan yang tercipta pun akan semakin mengkerucut
menjadi hubungan yang mengarah kepada pekerjaan dalam suatu
komunitas pekerjaan.
75
Pada struktur masyarakat yang digambarkan oleh Durkhiem,
perwakilan orang dalam lembaga legeslatif tidak lagi didasarkan
pada latar belakang suku atau ras, melainkan dari komunitaskomunitas
pekerjaan. Ide-ide yang dominan berkembang akan
mencerminkan dinamika interaksi hubungan antar profesi atau
seprofesi, oleh karena itu kohesi sosial yang paling kuat terbentuk
dari ikatan pekerjaan.
b. Dialog Tiga Tokoh Klasik dalam Konsepsi Perubahan Sosial
Kajian teoritis dari perubahan sosial menurut tiga tokoh
sosiologi klasik ini sudah sangat dikenal di-Eropa sejak dua abad
silam. Lalu kemudian berkembang menjadi mainstream berpikir
para ahli muda yang hidup setelah generasi mereka. Terlihat jelas
ketiga tokoh itu memiliki spesifikasi epistemologi yang berbeda
secara teoritik, sehingga melahirkan paradigma teoritik tersendiri.
Ketiga pemikir itu berkembang menjadi suatu acuan besar mana
kala banyak orang belajar tentang sosiologi, sejauh itu ketiganya
banyak mewarnai cara-cara berpikir, melahirkan asumsi-asumsi,
dasar teoritik dan kemudian menjadikan paradigma besar dalam
sosiologi.
Menurut pengamatan ketiga tokoh peletak sosiologi itu
memiliki pendapat yang saling menyambung, atau bisa saja dikatakan
saling melengkapi. Namun disisi lain pemikiran mereka
sebenarnya merupakan upaya saling mengkritisi satu sama lain.
Dalam hal ini Karl Marx bahkan berperan sebagai pengantar awal
yang menjadi acuan tindakan saling kritis dengan pemikiran
Emile Durkhiem dan MaxWeber yang datang kemudian.
Pandangan tentang dunia dan perubahan sosial dari ketiga
pemikir sosiologi itu dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Konsep perubahan sosial dapat muncul dari dua kubu yang
saling mencari pengaruh, yaitu kubu materialisme (dipelopori
Marx dan Durkhiem) dan kubu idealisme dipoelopori oleh
Weber. Pemikiran Weber pada awalnya setuju dengan ide
dasar pemikiran Marx, namun ia tidak setuju menempatkan
manusia sebagai robot, karena individu memiliki tempat
terhormat. Dalam proses perubahan sosial, Marx menempatkan
kesadaran individu, sejajar dengan kesadaran kelas,
ideologi dan budaya yang kemudian medium perantara antara
struktur dan individu.
2) Weber dan Marx tampaknya setuju untuk menolak idealisme
Hegel, yang menyatakan bahwa didunia ada yang mendominasi
yakni semangat nasionalisme. Sementara Durkhiem lebih
terfokus mengamati semangat kelompok yang mengikat
anggota sehingga dapat dijadikan sebagai unit analisa.
Kekuatan Durkhiem memang terletak pada analisis tentang
perilaku masyarakat dalam fakta sosial.
Pada kesempatan ini Weber, mengakui bahwa masyarakat
memang merupakan unit analisa tetapi tidak memiliki kekuatan
determenistis diikat oleh spirit yang seragam. Masyarakat
memiliki dinamika sendiri-sendiri yang dipengaruhi
oleh beberapa faktor. Bagaimanapun masyarakat tetap merupakan
unit yang kompleks dan dapat dianalisa secara beragam.
Pada Masyarakat modern (Weber dan Marx) memiliki
kesamaan pandangan, bahwa masyarakat itu diikat oleh spirit
dalam struktur kapitalis.
Perubahan sosial adalah suatu fenomena yang sama, tapi
ketiga tokoh tersebut menjelaskan dengan perspektif dan teori
yang berbeda. Bagi Marx, perubahan sosial dipacu dengan penggunaan
ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga dapat terjadi
sangat cepat. Sebagai akibatnya mode produksi masyarakat
mengalami perubahan sangat cepat dan mendasar.
Menurut pandangan Weber, dinyatakan bahwa sebelum terjadinya
perubahan teknologi terlebih dahulu terjadi perubahan
gagasan baru dalam pola pemikiran masyarakat (dalam hal ini
Weber memfokuskan Etika Protestan sebagai pendorong berkembangnya
semangat kapitalisme). Di setiap masyarakat ada suatu
sistem nilai yang hidup dan tumbuh secara khusus, yang membedakan
masyarakat satu dengan lainnya. Nilai yang merupakan
gagasan tersebut akhirnya menjadi kekuatan dominan dari suatu
kelompok masyarakat, yang membedakan keberadaanya dengan
masyarakat lain.
Sementara Emile Durkhiem lebih bertolak kepada keteraturan
masyarakat yang menjamin terciptanya keseimbangan sosial. Bagi
Durkhiem pendekatan individu sebagai reduksi perilaku ekonomi,
yang menurunkan manusia dalam teori pertukaran pasar dengan
sendirinya menempatkan individu tidak bermoral. Oleh karena
itu, Durkhiem lebih tertarik mengungkap fakta sosial sebagai
pedoman individu. Dengan asumsi semacam itu wajar jika
76
Durkhiem menganggap perubahan sosial merupakan kondisi
yang abnormal. Karena secara internal dampaknya akan mengganggu
kelancaran aktivitas organ dalam sistem sosial.
2. Teori Modernisasi dan Teori Ketergantungan dalam Konsep
Perubahan Sosial
Konstelasi hubungan dalam tataran dunia antar negara demi
menjalankan motif peningkatan kesejahteraan menimbulkan terjadinya
spesialisasi produksi pada tiap-tiap negara sesuai dengan
keuntungan komparatif yang dimiliki. Dalam hal ini, konsekuensi
logis yang melanda dunia terdapat dua belahan kelompok negara
yang memiliki fungsi sesuai dengan potensi dan kemampuan
mencetak sumber daya unggulan komparatif. Secara garis besar
dua kelompok negara itu yakni
a. Negara yang memperoleh hasil pertanian dan,
b. Negara yang memproduksi barang industri
Melihat masing-masing sumber daya yang sifatnya fungsional,
maka jalinan hubungan dagang antar kelompok negara tersebut
menjadi sebuah kenyataan, secara teoritis kedua bentuk hubungan
akan mendatangkan keuntungan yang seimbang antar kedua
belah pihak.
Selang beberapa waktu selama jalinan hubungan berlangsung,
nampak bahwa negara-negara industri yang padat modal
dan teknologi menjadi semakin kaya, sedangkan negara pertanian
justeru jauh tertinggal. Neraca perdangan yang terjalin antar
keduanya tempaknya menjadi timpang. Sebab pada kenyataannya
negara yang bertugas memproduksi barang industri, lebih banyak
mendapat keuntungan dibandingkan negara yang memproduksi
barang pertanian. Melihat kenyataan demikian, dalam diri kita
muncul serangkaian pertanyaan: apa yang menjadi penyebab
ketimpangan hubungan itu? Mengapa kemudian terjadi dua
kelompok negara – yaitu kelompok negara miskin yang biasanya
merupakan negara pertanian dan kelompok negara kaya yang
merupakan negara industri?
Sebagai refleksi atas kenyataan demikian, menurut Budiman
(1996) terdapat dua kelompok teori yang muncul secara berkelanjutan:
Pertama: teori-teori yang menjelaskan bahwa kemiskinan ini
terutama disebabkan oleh faktor-faktor yang terdapat didalam
negeri negara yang bersangkutan. Teori kelompok pertama ini
kemudian dikenal dengan Teori Modernisasi.
Kedua: Teori-teori yang lebih banyak mempersoalkan faktorfaktor
eksternal sebagai penyebab terjadinya kemiskinan di
negara-negara tertentu. Kemiskinan lebih banyak dilihat sebagai
akibat bekerjanya kekuatan-kekuatan luar yang menyebabkan
negara yang bersangkutan gagal melakukan pembangunannya.
Teori-teori ini masuk dalam kelompok teori struktural yang kemudian
melahirkan Teori Dependensia atau Teori Ketergantungan.
a. Teori Modernisasi
Pada hakikatnya daya pikir dari teori modernisasi lebih
berorientasi pada pembentukan mentalitas baru bagi manusia di
negara-negara berkembang. Dengan menempa kesadaran manusia
agraris agar menerima pola pikir barat yang cenderung “rasional
instrumental” maka konsepsi modernisasi menjadi komoditi di
kalangan masyarakat yang menempatkan mentalitas sebagai
penyebab perubahan.
Karena modernisasi merupakan budaya yang berasal dari
barat maka modernisasi tidak lepas dari keberadaan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Di dalam masyarakat lalu konsepsi modernisasi
berkembang menjadi asumsi yang tidak usah dipertanyakan
lagi kebenarannya.
Gambaran kematangan masyarakat menurut teori modernisasi,
dilukiskan sebagai sebuah model linear yang bergerak ke
arah masyarakat industri. Masyarakat industri dalam teori
modernisasi dibangun dengan orientasi masa depan yang lebih
baik. Kematangan masyarakat menuju masyarakat industri,
memiliki bentuk transisi yang cukup panjang dan lama dalam
bentuk orientasi sekarang. Dalam masyarakat transisi bentuk
rasionalitas yang diharapkan belum muncul sebagai potensi
utama, sebab modernisasi baru direspons sebagai ‘kekaguman’
bentuk luar dari kebudayaan barat. Namun, sebagian besar
masyarakat di negara berkembang telah melihat bahwa tradisi
yang dimilikinya secara turun temurun merupakan sejumlah
faktor yang menghambat kemajuan. Tradisi ditempatkan sebagai
lawan pola pikir modernisasi yang sangat rasional. Oleh karena
77
itu bisa dikatakan bahwa modernisasi yang menggejala di negara
berkembang tidak memperhatikan budaya lokal dan tercerabut
dari ekologi murni masyarakat asli, oleh karena itu bersifat ahistoris.
Dalam teori modernisasi, indikator tingkat kemodernan
masyarakat adalah pada nilai dan sikap hidup maupun sistem
ekonomi yang menghidupinya. Sementara untuk membedakan
manusia modern dan manusia tradisional adalah pada orientasi
masa depannya. Tampaknya teori-teori modernisasi bertolak dari
landasan material yang kuat, suatu bentuk eksploitasi manusia
dan alam lingkungan yang berorientasi pada kelimpahan material.
b. Teori Dependensia atau Ketergantungan
Kemunculan teori dependensia merupakan perbaikan sekaligus
antitesis dari kegagalan teori pembangunan maupun modernisasi
dalam menjalankan tugasnya mengungkap jawaban kelemahan
hubungan ekonomi dua kelompok negara di dunia. Teori
ini muncul di Amerika Latin, yang menjadi kekuatan reaktif dari
suatu kegagalan yang dilakukan teori modernisasi. Tradisi berpikir
yang sangat kental dari teori ini timbul akibat kejadian
dalam varian ekonomi, yaitu pada tahun 1960-an.
Dalam konsep berpikir teori ketergantungan, pembagian
kerja secara internasional mengakibatkan ketidakadilan dan keterbelakangan
bagi negara-negara pertanian. Dari sini pertanyaan
yang muncul adalah mengapa teori pembagian kerja internasional
harus diterapkan jika ternyata tidak menguntungkan semua
negara ?
Teori modernisasi menjawab masalah tersebut dengan menuding
kesalahan pada negara-negara tersebut dalam melakukan
modernisasi dirinya. Hubungan internasional dalam kontak
dagang justru membantu negara-negara tersebut, melalui pemberian
modal, pendidikan dan transfer teknologi. Akan tetapi teori
dependensi menolak jawaban yang diberikan oleh teori modernisasi.
Teori yang bersifat struktural ini berpendapat bahwa
kemiskinan yang dialami negara dunia ketiga (negara pertanian)
akibat dari struktur perekonomian dunia yang bersifat eksploitatif,
dimana yang kuat melakukan penghisapan terhadap yang
lemah. Surplus yang seharusnya dinikmati negara dunia ketiga
justeru mengalir deras kepada negara-negara industri maju.
Perkembangan teori ketergantungan selanjutnya sangat terkait
dengan, upaya memahami lingkar hubungan makro antar
berbagai negara dalam proses pembangunan masyarakatnya.
Analisa teori ketergantungan cukup futuristik untuk membahas
masalah globalisasi yang mencakup organisasi perdagangan
nasional (World Trade Organization) yang mengatur produksi
perusahaan-perusahaan Multy National Corporation (MNC). Bahwa
sebenarnya telah terjalin hubungan yang tidak adil antara negara
berkembang dengan negara maju. Meskipun kelihatannya negara
maju memberi suntikan dana dalam bentuk utang kepada negara
berkembang, tetapi sebetulnya telah mencekik mereka perlahanlahan
dengan membikin tata hubungan ekonomi internasional
yang eksploitatif.
Sekelumit uraian dari teori-teori perubahan sosial menurut
kacamata sosiologi diatas hanyalah menunjukkan ilustrasi keragaman
analisa sosiologi dalam rentangan perkembangan produksi
teorinya. Masih terdapat turunan teori yang lain lagi, antara lain:
teori sistim dunia dan teori-teori kritis lainnya. Tentu saja kemunculan
setiap teori selalu dilatarbelakangi oleh situasi dominan
dibelakangnya. Sebuah teori merupakan perwujudan dari harapan
warga masyarakat pendukungnya. Dari sini teori sosiologi klasik
sesungguhnya lebih berfungsi sebagai pembuka gerbang nalar
manusia untuk mengungkap masyarakat tatkala akal budi yang
tercermin dalam ilmu pengetahuan dan teknologi tumbuh
berkembang menjadi mindset peradaban dunia. Teori-teori
berikutnya lebih membedah kasus-kasus kelemahan seputar
perkembangan gerbong “kuasa nalar” atas dunia. Hingga di
penghujung abad ini teori dasar tersebut tengah mengalami
perdebatan serius. Apalagi perbaikan teoritik yang menyusulnya
mulai mendorong potensi masyarakat dunia ketiga untuk tampil
dalam panggung sejarah.
Dalam hal ini tentunya pendidikan sebagai bagian dari
masyarakat tidak bisa dipisahkan dari arah perubahan yang
menggejala. Dinamika orientasi pendidikan selalu berjalan beriringan
dengan konteks wilayah sosial-politik yang menaunginya.
Sehingga pada praktik pendidikan terjadi perbedaan yang menajam
antar negara. Negara maju dengan segala keberhasilan peradabannya
tentunya sudah menghantarkan orientasi pendidikan
yang menjadi satelit acuan penting bagi aktivitas pendidikan di
78
negara berkembang. Sementara itu demi mengejar ketertinggalan,
negara berkembang mencoba menyesuaikan perpaduan hukum
perkembangan masyarakat (masih seputar modernisasi) dengan
penerapan sistim pendidikannya.
3. Perubahan Sosial dan Pendidikan
Sejalan dengan penjelasan perubahan sosial di atas maka
sebenarnya di manakah letak posisi pendidikan. Dalam hal ini kita
mengingat penuturan Eisentandt dalam Faisal dan Yasik (1985)
institusionalisasi merupakan proses penting untuk membantu
berlangsungnya transformasi potensi-potensi umum perubahan
sehingga menjadi kenyataan sejarah. Pendidikan adalah suatu
institusi pengkonservasian yang berupaya menjembatani dan
memelihara warisan budaya suatu masyarakat.
Melihat perkembangan masyarakat yang sering dilanda perubahan
secara tiba-tiba, maka kemungkinan terjadinya dampak
negatif yang akan menggejala ke dalam kehidupan masyarakat
tidak dapat dihindari kehadirannya. Gejala ketimpangan budaya
atau cultural lag, harus dapat diminimalisasi pengaruhnya ke
dalam tatanan kehidupan masyarakat. Untuk itu sebagai lembaga
yang berfungsi menjaga dan mengarahkan perjalanan masyarakat,
pendidikan harus dapat menangkap potensi kebutuhan masyarakat.
Dalam proses perubahan sosial modifikasi yang terjadi
seringkali tidak teratur dan tidak menyeluruh, meskipun sendisendi
yang berubah itu saling berkaitan secara erat, sehingga
melahirkan ketimpangan kebudayaan. Dikatakan pula olehnya
bahwa cepatnya perubahan teknologi jelas akan membawa dampak
luas ke seluruh institusi-institusi masyarakat sehingga munculnya
kemiskinan, kejahatan, kriminalitas dan lain sebagainya
merupakan dampak negatif yang tidak bisa dicegah.
Untuk itulah pendidikan harus mampu melakukan analisis
kebutuhan nilai, pengetahuan dan teknologi yang paling mendesak
dapat mengantisipasi kesiapan masyarakat dalam menghadapi
perubahan.
Karl Manheim dalam Faisal dan Yasik (1985) memfokuskan
pandangannya untuk melihat aktivitas sekolah dalam melaksanakan
proses pengajaran kepada para peserta didik. Secara jeli
Manheim mengisyaratkan adanya semacam penyimpangan, di
mana para siswa seolah-olah terobsesi pada angka prestasi,
padahal tujuan pendidikan bukan itu.
Pembahasan dan analisis mengenai perubahan sosial dan
perubahan pendidikan tidak pernah terlepas dari konsep modernisasi.
Sebagai sebuah proses masyarakat dunia, modernisasi
merupakan gejala universal yang dapat dijadikan sebagai kerangka
acuan guna memahami konteks sosial dan pendidikan. Dari
sinilah dapat ditarik ruang interpretasi mengenai perspektif perubahan
sosial dan perubahan pendidikan.
Kata atau istilah modernisasi mempunyai banyak definisi.
Meskipun bagitu, namun tetap ada satu kepastian bahwa pengembangan
aplikasi teknologi manusia menjadi muara kelahiran
modernisasi. Produk modernisasi sebagaimana terlihat pada
masyarakat modern, ditandai oleh kehidupan industrialistis,
dengan struktur pekerjaan serta ruang sosial yang kompleks,
termasuk di dalamnya munculnya diferensiasi sosial yang
semakin tajam.
Dalam menjelaskan tingkat modernisasi suatu masyarakat
selain berpatokan pada kekuatan-kekuatan materiil baik itu ruang
lingkup ekonomi maupun aplikasi teknologinya, ada banyak ahli
lain yang mengedepankan pada atribut strukturalnya. Semisal
Parson, Einsantand, Smelser, Buckley dan Marsh. Sebagaimana
dituangkan dalam Faisal dan Yasik (1985) pendapat mereka lebih
condong menempatkan diferensiasi sosial sebagai titik tolak analisisnya.
Menurut mereka paling tidak ada dua alasan, kenapa titik
pangkal diferensiasi sosial begitu pentingnya untuk memahami
modernisasi.
a) Diferensiasi merupakan suatu keniscayaan yang pasti dilalui
oleh sistem sosial dalam mengadaptasikan diri terhadap
perubahan-perubahan di lingkungannya, dan
b) Kemampuan untuk melakukan diferensiasi merupakan sebuah
indikator positif mengenai kemampuan suatu sistem dalam
menyesuaikan diri sesuai dengan proses-proses perubahan
yang terjadi.
Suatu cara untuk menggambarkan hubungan perubahan
dunia pendidikan dengan tumbuh kembangnya modernisasi, kiranya
perlu berangkat dari konsep deferensiasi. Dengan berkembangnya
diferensiasi sosial, secara perlahan-lahan akan mengubah
fungsi dan sistem pendidikan agar berjalan sejalur dengan kecen79
derungan sosial tersebut. Perkembangan tersebut ditandai dengan
adanya spesialisasi peran serta merebaknya organisasi di dalam
sistem pendidikan, sehingga secara internal menumbuhkan
diferensiasi struktural dalam tubuh pendidikan.
Proses yang mempengaruhi tubuh pendidikan ini dapat
digambarkan dalam pengamatan komparatif antara masyarakat
modern dengan masyarakat primitif. Pada masyarakat tradisional
proses pendidikan menyatu dengan fungsi-fungsi lain yang kesemuanya
diperankan oleh institusi keluarga. Sedangkan pada
masyarakat modern proses pendidikan lebih banyak dipengaruhi
oleh institusi di luar keluarga.
Meskipun terdapat perbedaan karakter pendidikan yang
cukup tajam dalam kedua tipe masyarakat tersebut. Namun pada
dasarnya masih tersimpan kemiripan fungsi pendidikan antarkedua
tipologi masyarakat tersebut. Baik pendidikan pada masyarakat
tradisional maupun masyarakat modern, keduanya samasama
bertanggung jawab untuk mentransmisikan sekaligus mentransformasikan
perangkat-perangkat nilai budaya pada generasi
penerusnya. Dengan demikian, keduanya sama-sama menopang
proses sosialisasi dan menyiapkan seseorang untuk peran-peran
baru. Letak perbedaannya, tanpa banyak perubahan di dalam
fungsi pendidikan menjadi semakin besar dan kompleks. Menurut
Faisal dan Yasik (1985) alur perkembangan diferensiasi pendidikan
dapat diterangkan dalam beberapa poin sebagai berikut.
a) Pendidikan pada masyarakat sederhana yang belum mengenal
tulisan. Dalam kehidupan masyarakatnya mengembangkan
pendidikan secara informal yang berfungsi untuk memberikan
bekal keterampilan-keterampilan mata pencaharian dan memperkenalkan
pola tingkah laku yang sesuai dengan nilai serta
norma masyarakat setempat. Pada tingkatan ini, peran sebagai
siswa dan guru secara murni ditentukan oleh ukuran-ukuran
askriptif. Anak-anak menjadi siswa dilatarbelakangi oleh faktor
usia mereka, sementara guru disimbolkan sebagai representasi
orang tua yang memiliki derajat karisma serta kewibawaan
untuk mendidik kaum-kaum muda. Spesifikasi peran
para guru itu, juga ditentukan oleh jenis kelamin (yang wanita
mengajarkan memasak sementara para laki-laki mengajarkan
berburu).
b) Pada tingkatan yang lebih maju, sebagaian proses sosialisasi
teridentifikasi keluar dari batas keluarga, diserahkan kepada
semua pemuda di masyarakat tentu saja dengan bimbingan
para orang tua yang berpengalaman atau berkeahlian. Kurikulum
pendidikan bukan semata-mata kumpulan dari latihan
memperoleh ketrampilan-ketrampilan namun juga ditekankan
soal-soal metafisik dan budi pekerti. Mengenai siapa yang berperan
sebagai guru, tampaknya sudah mulai mempertimbangkan
bakat dan pengalaman “berguru” yang pernah diperoleh.
Dalam hubungan ini, sang guru bukanlah orang yang memiliki
“spesialisasi khusus” seperti halnya spesialisasi-spesialisasi
sekarang ini, namun para “siswa” bisa belajar banyak
mengenai nilai-nilai kehidupan sebab guru dipandang sebagai
sumber segala macam pengetahuan.
c) Dengan berkembangnya diferensiasi di masyarakat itu sendiri,
maka meningkat pula upaya seleksi sosial. Beberapa keluarga
atau kelompok meningkat menjadi semakin kuat dalam segi
kekuasaan maupun kekuatan ekonominya dibandingkan warga
masyarakat yang lain. Mereka yang telah menempati posisi
kuat itu, secara formal membatasi akses mengenyam pendidikan
bagi seluruh warga masyarakat. Pertimbangan utama
dalam menentukan siapa-siapa yang menjadi “siswa”, terletak
pada latar belakang kelas atau kterurunan seseorang. Sedangkan
seleksi para “guru”, di samping disyaratkan memiliki
tingkat pengetahuan yang lebih tinggi, juga diperhitungkan
faktor kecerdasan dan bakatnya. Dari segi kurikulum sudah
diperhitungkan kebutuhan-kebutuhan perkembangan zaman
dengan memfokuskan perhatian pendidikan pada budi pekerti,
hukum, teologi, kesenian serta bahasa. Guru masih berperan
sebagai figur yang menguasai segala hal daripada sebagai spesialis
dari suatu cabang pelajaran tertentu.
d) Pada tingkatan berikutnya hubungan antara pendidikan
dengan masyarakat menjadi kian rumit dan semakin kompleks.
Sejalan dengan arus industrialisasi dan kecenderungan
diferensiasi sosial, maka spesialisasi peranan menjadi ciri
istimewa masyarakat pada tingkatan keempat ini. Di sini
pendidikan sudah berjenjang-jenjang begitu rupa, dan kualifikasi
para pengajar sudah tersebar ke dalam bidang keahlian
yang beragam pula. Dalam hubungan ini, sekolah mendapat
80
beban-beban baru, yaitu sebagai pusat pengajaran bagi masyarakat
luas, sebagai media seleksi sosial serta berperan pula
sebagai lapangan pekerjaan.
Pesatnya arus diferensiasi serta spesialisasi selama dekadedekade
terakhir memicu beberapa perubahan dalam tubuh formasi
pendidikan. Hal itu terjadi sebagai akibat dari mendesaknya
permintaan masyarakat akan tersedianya tenaga-tenaga spesialis
yang akan menopang bergulirnya roda kehidupan masyarakat
yang tengah bertumpu pada kekuatan industri produk massal.
Dalam perkembangan ini, sistem pendidikan beranjak pesat
menjadi institusi yang mempunyai “kedudukan penting” terutama
dalam menopang perubahan sosial ekonomi (baik perubahan
yang direncanakan maupun tidak), lalu pendidikan berkembang
menjadi “jembatan” prestise dan status, selain juga
tampil sebagai faktor utama mobilitas sosial, baik vertikal maupun
horisontal, baik intra maupun antargenerasi.
4. Gelombang Kekuatan yangMengubahMasyarakat Manusia
Sesudah kita melihat bagaimana dan apa perubahan sosial,
maka uraian selanjutnya akan membicarakan berbagai kekuatan
sosial yang mengubah dunia yang mengglobal dewasa ini. Dari
berbagai kekuatan yang mengubah kehidupan bersama umat
manusia dewasa ini, terdapat tiga kekuatan yang besar, yaitu (1)
demokratisasi, (2) kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
khususnya teknologi komunikasi dan informasi, dan (3)
globalisasi.
Ketiga kekuatan besar yang sedang mengubah kehidupan
umat manusia dewasa ini selanjutnya akan dilihat pengaruhnya
terhadap perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat kita.
Perubahan-perubahan tersebut sangat berkaitan dengan kekuatankekuatan
global yang tengah melanda masyarakat kita. Pertama
ialah masyarakat kita sedang berubah dari masyarakat yang relatif
masih tertutup menuju suatu masyarakat terbuka. Proses demokratisasi
yang sedang melanda seluruh dunia termasuk di
Indonesia, telah membongkar kehidupan tradisional masyarakat
kita. Selanjutnya, masyarakat kita sesudah melampai masa krisis
yang terjadi pada penghujung abad 20, akan dituntut melahirkan
bentuk nasionalisme baru yang berhadapan dengan munculnya
rasa kesukuan atau tribalisme. Keadaan masyarakat Indonesia
yang pluralistik dalam suku dan budayanya merupakan
tantangan baru terhadap kehidupan nasional.
Kekuatan-kekuatan yang dibicarakan tersebut di atas tentunya
akan mempengaruhi proses pendidikan manusia Indonesia
yang menuntut kemampuan untuk berpartisipasi aktif dalam
membina masyarakat baru.
a. Kekuatan Demokratisasi
Saat ini gelombang demokratisasi sedang melanda dunia.
Semenjak beberapa waktu lalu dimana-mana telah terjadi penghancuran
dinasti pemerintah otoriter oleh rakyat beriringan
dengan tumbuhnya pemerintah yang demokratis. Meskipun
bukannya tanpa hambatan namun dewasa ini menurut
Huntington (1995) gelombang demokratisasi telah mencapai tahap
ketiga. Menurut pengamatannya gelombang demokratisasi yang
pertama berakar dari revolusi Perancis dan revolusi Amerika yang
memperjuangkan hak-hak rakyat untuk mengatur dirinya sendiri.
Gelombang kedua terutama terjadi setelah perang dunia kedua
dengan lahirnya nagara-negara baru di Afrika dan Asia dari
daerah-daerah bekas penjajahan. Gelombang ketiga ditandai oleh
pemerintah diktator di Eropa Selatan seperti Portugal telah terjadi
penumbangan pemerintahan diktator pada tahun 1974, diikuti
oleh pendemokrasian negara-negara Eropa Selatan lainnya seperti
Yunani dan Spanyol. Sejak tahun 1980 proses demokratisasi mulai
menelan dunia komunis seperti Polandia. Rontoknya negaranegara
komunis pada penghujung tahun 80-an ditandai oleh
rontoknya tembok Berlin yang memisahkan Berlin Barat yang
demokratis dan Berlin Timur yang komunis. Rontoknya
pemerintahan diktator komunis mencapai klimaksnya dengan
bubarnya negara Uni Sovyet. Sampai permulaan abad 21 ini
proses demokratisasi terus berlangsung.
Sampai di sini kita lihat pengertian demokrasi berhubungan
dengan sistem pemerintahan, yaitu pemerintah oleh rakyat melalui
para wakilnya di dalam suatu dewan atau majelis. Demokrasi
itu sendiri bukan merupakan suatu nama benda tetapi lebih
merupakan suatu proses yaitu proses demokratisasi. Perwujudan
asas-asas demokrasi terus berkembang sampai dewasa ini. Ada
negara yang telah mapan pelaksanaan demokrasi ada yang baru
81
berada pada tingkat konsolidasi, ada pula yang baru pada tahap
transisi dari pemerintahan yang diktator ke arah pemerintahan
yang demokratis.
Dewasa ini pengertian demokrasi tidak dibatasi kepada
pengertian politik tetapi juga menyangkut hal-hal dalam bidang
sosial, ekonomi, hukum, HAM. Jadi demokrasi telah merupakan
suatu sikap dan cara hidup, baik di dalam lingkungan terbatas
maupun di dalam lingkungan bernegara. Kini kita berbicara
mengenai demokrasi sosial, demokrasi ekonomi, penghormatan
terhadap hak asasi manusia, kedudukan hukum yang sama dari
setiap warga negara. Prinsip demokrasi adalah menghargai akan
martabat manusia dengan hak-hak asasinya.
1) Perkembangan Demokrasi
Pada dasarnya demokrasi muncul bersamaan dengan perkembangan
negara kebangsaan (nation-state). Seperti yang telah
dijelaskan, munculnya negara kebangsaan sejalan dengan penolakan
manusia terhadap penindasan pemerintahan absolut dari
monarki absolut. Lahirnya negara-negara kebangsaan pada abad
19 bersamaan pula dengan lahirnya industri modern di Eropa
yang dipicu oleh kemajuan ilmu dan teknologi. Kemajuan hak-hak
rakyat biasa mulai muncul sehingga mengubah cara hidup
manusia. Kehidupan perkotaan mulai marak, hak-hak buruh
mulai dimunculkan sehingga tidak jarang terjadi keributankeributan
sosial yang menuntut perbaikan. Hak asasi manusia
mulai ditonjolkan karena manusia mulai melihat terjadinya
ketimpangan-ketimpangan sebagai ekses kapitalisme. Masalah
ekonomi semakin menonjol dan perkembangan demokrasi banyak
dihubungkan dengan perkembangan ekonomi.
Perkembangan ekonomi yang tinggi akan melahirkan
kebutuhan untuk memperoleh pendidikan bagi rakyat banyak
terutama di dalam era industrialisasi. Tenaga kerja manusia
diganti dengan mesin dan untuk itu diperlukan ilmu pengetahuan
dan pelatihan bagaimana cara memegang mesin-mesin tersebut.
Sejalan dengan meningkatnya mutu sumber daya manusia karena
pendidikan, lahirlah kelas baru di dalam masyarakat yang disebut
kelas menengah. Meluas dan meningkatnya pendidikan bagi
rakyat dibarengi dengan lahirnya kelas menengah yang besar dan
kuat, melahirkan budaya baru. Budaya baru tersebut didukung
oleh warga negara yang semakin berpendidikan, semakin bertanggung
jawab dan menguasai berbagai jenis kompetensi yang
diperlukan di dalam masyarakat modern. Semua perubahan ini
merupakan pendukung dari proses demokratisasi.
Perkembangan pemerintahan yang demokratis ternyata
mengenal berbagai tipe atau jenis. Menurut Haynes (2000) ada tiga
jenis pemerintahan yang demokratis, yaitu (1) demokrasi formal,
(2) demokrasi permukaan (fasade), dan ( 3) demokrasi substantif.
Demokrasi formal ditandai dengan adanya pemilihan umum
yang bebas dan adil serta kompetitif. Ide pokoknya ialah adanya
pilihan yang bebas. Banyak negara yang masih muda berada di
dalam jenis ini. Secara formal negara-negara itu melaksanakan
pemilihan umum namun di dalam praktiknya negara-negara
tersebut tergolong negara diktator. Demokrasi-permukaan
(fasade) dapat kita lihat di dalam bentuk pemerintahan yang
kelihatan pada permukaannya sebagai pemerintahan yang
demokratis, tetapi sebenarnya masih jauh dari prinsip-prinsip
demokrasi. Pada hakikatnya pemerintah yang demikian hanya
berbaju demokrasi, tetapi tetap membatasi hak-hak warga negara,
misalnya batasan di dalam mengeluarkan pendapat, pembatasan
untuk berkumpul dan berserikat, memberangus pers yang tidak
sejalan dengan pemerintah. Mungkin saja negara mempunyai
perwakilan dari rakyat tetapi sistem pemerintahannya adalah
sistem feodal. Pemerintah mempunyai hak mutlak di dalam
mengatur negaranya meskipun rakyatnya diberi peluang untuk
memilih wakil-wakilnya melalui pemilihan umum. Bentuk yang
terakhir ialah demokrasi substantif. Di dalam pemerintahan yang
demokrasi subtantif ialah bukan hanya dikenal demokrasi formal
melalui pelaksanaan pemilihan umum yang bebas dan adil serta
kompetitif, tetapi juga prinsip-prinsip demokrasi dilaksanakan di
dalam seluruh bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Demokrasi telah menjadi cara dan gaya hidup dari setiap
anggotanya.
2) Demokratisasi dan Pendidikan
a) Revolusi Industri
Seperti yang telah diuraikan, revolusi industri telah mengubah
banyak aspek kehidupan. Dengan adanya perkembangan
industri maka struktur produksi dan konsumsi berubah total, dari
82
ekonomi yang tertutup menjadi ekonomi yang terbuka. Begitu
pula struktur permodalan, berubah dengan lahirnya kapitalisme.
Dari perkembangan industri muncullah suatu kelas baru, yaitu
kaum buruh yang semakin lama semakin kuat dan menuntut hakhaknya.
Tidak mengherankan apabila di dalam revolusi industri
melahirkan pemikiran-pemikiran perubahan sosial yang baru,
seperti komunisme dan sosialisme. Sejalan dengan itu pula berkembang
kota-kota besar sebagai pusat industri. Terjadilah
dorongan ke kota-kota atau urbanisasi yang melahirkan banyak
permasalahan sosial. Sejalan dengan itu pula nilai-nilai masyarakat
yang tradisional dihancurkan oleh lahirnya nilai-nilai baru.
Perubahan nilai tersebut mengubah bentuk-bentuk kehidupan
manusia termasuk kehidupan keluarga. Keluarga sebagai dasar
kehidupan sosial mulai tergoyah dan lebur, serta dikuasai oleh
nilai-nilai komersial.
Sejalan dengan proses industrialisasi dengan nilai-nilai sosialnya
yang baru, maka lahirlah apa yang disebut kelas menengah.
Apabila sebelumnya di dalam masyarakat terdapat golongan elit
atau feodal yang berkuasa disertai dengan penguasaan modal, dan
dibawahnya lapisan besar masyarakat yang miskin dan tertindas,
maka dengan revolusi industri telah lahir kelas baru di dalam
masyarakat, yaitu kelas menengah. Kelas menengah ini semakin
lama semakin besar, berpengaruh dan terkenal dengan nilainilainya
yang progresif dan anti establisment. Kelas menegah ini
merupakan kelompok masyarakat yang dinamis, yang berkembang
kemampuan intelektualnya dan tidak jarang dari mereka
menjadi pembela golongan rakyat banyak. Nilai-nilai kelas
menengah mendorong lahirnya suatu masyarakat yang sadar akan
hak dan tanggung jawabnya. Mereka itulah warga negara yang
meminta partisipasinya lebih diakui di dalam berbagai aspek
kehidupan. Mereka aktif di dalam mewujudkan hak-hak
politiknya, partisipasinya di dalam kegiatan ekonomi dan sejalan
dengan itu lahirnya bisnis pekerjaan baru yang belum dikenal
sebelumnya. Kelas menengah ini menempati pos-pos yang sangat
strategis di dalam dinamika perubahan sosial. Di dalam
partisipasinya dalam perubahan sosial mereka menempati dan
mengubah stratifikasi sosial yang ada.
Dari manakah kelas menengah itu memperoleh visi yang
baru sehingga menjadi pelopor dari perubahan sosial? Sejalan
dengan revolusi industri serta makin sadarnya warga negara
untuk berpartisipasi di dalam semua aspek kehidupan, telah didorong
oleh suatu program untuk meningkatkan taraf kecerdasan
rakyatnya. Sejalan dengan itu, program wajib belajar mulai
muncul di negara-negara industri pertengahan abad 19. Program
wajib belajar mulai diperkenalkan bukan hanya di belahan bumi
Eropa, tetapi juga di Amerika Utara dan Jepang. Partisipasi
masyarakat untuk memperoleh pelajaran melahirkan programprogram
wajib belajar sebagai perwujudan dari hak asasi manusia.
Bagaimana peranan pendidikan pada abad 21, dalam era
globalisasi? Memang pendidikan telah dilihat sebagai suatu
sarana untuk mempercepat proses dekolonisasi dan meningkatkan
mutu kehidupan dari rakyat terjajah. Oleh sebab itu, di dalam
salah satu program PBB sejak dilahirkan ialah meningkatkan dan
mempercepat program pendidikan di negara-negara bekas
jajahan. Badan PBB, UNESCO mempunyai tugas antara lain untuk
meningkatkan dan menyebarluaskan pendidikan untuk semua
orang. Semua manusia mempunyai hak untuk memperoleh
pendidikan. Hanya melalui pendidikan dapat diwujudkan suatu
masyarakat demokratis dan terbuka sehingga kemiskinan, ketidakadilan,
kriminalitas, dapat diwujudkan untuk orang banyak.
Pemerintahan yang demokratis tetapi mengabaikan pendidikan
bagi rakyatnya merupakan suatu penipuan dan kejahatan
kemanusiaan.
b) Proses Demokratisasi dalam Era Informasi
Di dalam masyarakat demokratis diperlukan warga negara
yang cerdas, artinya yang dapat mengambil bagian secara intelegen
di dalam kehidupan politik. Warga negara tersebut harus
dapat memilih sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan yang
tepat dan cepat. Pengambilan keputusan yang cepat dan tepat di
dalam pemilihan umum atau di dalam mengambil keputusankeputusan
politik banyak dibantu oleh penemuan-penemuan di
dalam bidang teknologi khususnya teknologi informasi. Kemajuan
teknologi informasi yang pada saat ini telah memasuki era internet
dan semakin lama semakin canggih, akan sangat membantu di
dalam proses pertimbangan dan pengambilan keputusan baik oleh
para pemilih maupun bagi pemerintah. Kita lihat betapa peranan
televisi dan internet di dalam proses pemilihan presiden di
Amerika Serikat. Tanpa televisi dan internet proses pemilihan dan
83
keputusan-keputusan yang diambil oleh para pemilih serta calon
dalam pemilu akan sangat lamban.
Proses demokratisasi akan memasuki babak baru dalam era
digital. Gerakan sosio-politik baru yang bersifat internasional
memiliki nilai-nilai atau ide antara lain untuk menyamakan
keterampilan dan sumber teleteknologi. Masalah ini memang
merupakan masalah internasional. Di dalam pertemuan-pertemuan
internasional telah disadari akan adanya perbedaan di dalam
nagara-negara industri dan negara-negara berkembang. Digital
divide akan lebih memperlebar jurang pemisah antara negara maju
dengan negara berkembang. Kini terdapat usaha-usaha internasional
untuk menjembatani digital divide ini.
Selain daripada itu, gerakan sosio-politik baru menganjurkan
kepada pemanfaatan teleteknologi untuk meningkatkan martabat
manusia, misalnya di dalam perluasan informasi mengenai hak
asasi manusia. Demikian pula dengan adanya penggunaan teknologi
akan lebih membuka kehidupan masyarakat dengan
pengenalan berbagai jenis alternatif. Selanjutnya, dengan teleteknologi
dapat ditingkatkan kewajiban-kewajiban antarnegara masalah
identitas dan pengembangan generasi muda, generasi masa
depan. Selain gerakan sosio-politik baru, juga terdapat kampanye
dan strategi sosio-politik baru yang meliputi upaya untuk meningkatkan
pelayanan universal dalam pemanfaatan telekomonikasi,
meningkatkan kemampuan melek komputer dan memasyarakatkan
teknologi digital, termasuk di dalam bidang politik. Era
demokrasi masa depan akan banyak dipengaruhi oleh era digital
yang mempercepat komunikasi, penyebaran informasi, dialog
antarkelompok, antarbangsa dan antarumat manusia. Masyarakat
global akan sangat dibantu oleh kemajuan di dalam bidang
teknologi informasi yang sangat pesat perkembangannya.
b. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Bagaimanakah dengan keadaan kehidupan masyarakat dan
negara dewasa ini? Ternyata sumber kemakmuran dan kekuatan
bukan lagi terletak pada luas wilayah dan sumber daya alamnya
yang melimpah tetapi telah berpindah pada penguasaan pemanfaatan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Inilah peradaban baru
umat manusia. Terdapat tiga kekuatan yang dominan yaitu
(1) ilmu pengetahuan, (2) teknologi sebagai penerapan ilmu
pengetahuan, dan (3) informasi. Ketiga kekuatan ini tidak
berhubungan lagi secara langsung dengan nasionalitas. Ilmu
pengetahuan tidak perlu menyebarangi tapal batas suatu negara
dan oleh sebab itu tidak lagi memerlukan paspor dan visa.
Demikian pula informasi berembus ke mana-mana tanpa batas
dan tidak ada yang dapat menghentikan atau menghambatnya.
Teknologi informasi telah mengubah kebudayaan negara menuju
kebudayaan global karena sekat-sekat yang mengisolasikan
kehidupan berbagai masyarakat dan negara telah dihapuskan.
Futuris Alvin Toffler dalam Anshori (2000) mengatakan
bahwa ada tiga gelombang peradaban hingga saat ini, yaitu.
1) Gelombang peradaban teknologi pertanian (8000 SM – 1500 M)
2) Gelombang peradaban teknologi industri (1500 – 1970 M)
3) Gelombang peradaban informasi (1970 – sekarang).
Masing-masing gelombang tersebut dikuasai oleh tingkat
teknologi yang digunakan pada era tersebut. Di dalam peradaban
pertanian teknologi terbatas pada pengelolaan lahan-lahan pertanian
untuk mencukupi kehidupan dasar manusia. Revolusi
industri yang dimulai dengan kemajuan ilmu pengetahuan pada
masa renaisans dalam kebudayaan Eropa, telah melahirkan ilmu
pengetahuan yang diterapkan di dalam perkembangan industri
modern. Mesin-mesin industri seperti mesin uap, mesin pemintal
dalam industri garmen, tambang-tambang muncul sesudah masa
Aufklarung. Kemajuan industri yang pesat tersebut, di samping
meningkatkan taraf hidup rakyat khususnya dalam kebudayaan
Eropa, juga telah melahirkan ekses-ekses, seperti imperalisme dan
kolonialisme dalam rangka untuk memperoleh bahan baku dan
pemasaran hasil industri. Demikian pula perkembangan industri
telah melahirkan berbagai masalah sosial seperti masalah perburuhan,
masalah urbanisasi dan bahkan menimbulkan gesekan
antaragama dan ilmu pengetahuan.
Pada masa gelombang teknologi informasi yang telah melahirkan
kemudahan-kemudahan dalam berkomunikasi, telah melahirkan
suatu masyarakat dunia yang disebut global village.
Perubahan-perubahan mendasar tersebut kini semakin lama
semakin memudahkan kehidupan manusia di dalam berkomunikasi
dalam berbagai bidang.
84
Alisyahbana (2000) mengemukakan ada lima era industri
baru yang akan datang, yaitu.
1) Era industri rekreasi (sampai 2015). Di dalam era ini akan lahir
dengan pesatnya berbagai jenis rekreasi dan industri hiburan
(entertainment). Industri rekreasi ini lahir bersamaan dengan
semakin meningkatnya tingkat kemakmuran rakyat. Semakin
besar pendapatan rakyat semakin banyak waktunya yang
terluang untuk berekreasi bersama-sama dengan keluarga.
Kebudayaan Disneyland yang lahir di Los Angeles kini telah
merebak ke seluruh dunia di dalam bentuk-bentuk yang
sejenis. Demikian pula telah lahir industri perhotelan, pusatpusat
rekreasi baik yang modern maupun yang sederhana
dengan kegiatan-kegiatan penunjang lainnya seperti transportasi
yang cepat, perusahaan-perusahaan tour dalam berbagai
jenis kian berkembang dengan sangat pesar. Begitu pula
perkembangan yang pesat dari industri pariwisata telah
menimbulkan kebutuhan untuk penguasaan bahasa, khususnya
bahasa Inggris sebagai bahasa komunikasi dunia.
2) Era bioteknologi. Kemajuan penelitian-penelitian di segala
bidang bioteknologi sangat mengagumkan meskipun menimbulkan
banyak persoalan. Kita dewasa ini mengenal penelitian-
penelitian biotek yang antara lain menghasilkan produkproduk
pertanian hasil rekayasa. Dalam bidang ilmu genetika
kini sedang digalakkan penelitian mengenai genom manusia.
Dalam bidang peternakan kita mengenal kegiatan-kegiatan
cloning pada binatang. Era bioteknologi ini sangat menjanjikan
di dalam upaya menghadapi ledakan penduduk dan persediaan
pangan bagi umat manusia yang terbatas. Untuk menghadapi
ekses-ekses dari rekayasa genetik, telah digalakkan
penelitian-penelitian mengenai bioetika yaitu etika tentang
rekayasa bioteknologi. Era bioteknologi yang sedang berkembang
pesat ini diperkirakan akan terus marak sampai
sekitar tahun 2100.
3) Era mega-material. Di dalam era ini misalnya, dikenal mengenai
research nano-technology dan quantum physics. Perkembangan
nanoteknologi sangat menjanjikan di dalam kualitas
hidup manusia. Seperti diketahui sistem metric yang dikemukakan
oleh Gabriel Mouton seorang pakar dari Lyons tahun 1670
dan kemudian diterima oleh pemerintah Perancis pada tahun
1795. Sistem metric ini merupakan suatu sistem desimal untuk
ukuran panjang dan berat. Ukuran nano adalah sepermilyar
dari meter (10-9). Bahkan teknologi nano ini mungkin akan
terus dikembangkan menjadi pico teknologi (10-12 atau sepertriliun).
Ukuran yang sangat kecil ini tentunya akan mengubah
berbagai produk elektronik yang semakin kecil sehingga
sangat memudahkan bagi pemakainya. Demikian pula di
dalam bidang-bidang teknik yang lain nano teknologi ini akan
terus dikembangkan baik dalam bidang kedokteran, pangan,
teknologi, pokoknya semua bidang kehidupan. Diperkirakan
nano teknologi ini akan berkembang dengan sangat pesatnya.
4) Era atom baru (fusi, laser). Era ini diperkirakan akan sangat
berkembang pada tahun 2100 – 2500.
5) Era angkasa luar baru. Diperkirakan sebelum tahun 3000
penjelajahan angkasa luar dari manusia telah dapat menjadi
kenyataan. Pada masa itu pesawat angkasa luar telah merupakan
alat transportasi umum.
Demikianlah gambaran kasar mengenai perubahan yang
sangat mendasar yang belum dapat kita gambarkan pada saat ini
bentuk kehidupan manusia menjelang 3000.
c. Globalisasi
Globalisasi adalah proses kebudayaan yang ditandai dengan
adanya kecenderungan wilayah-wilayah di dunia, baik geografis
maupun fisik, menjadi seragam dalam format sosial, budaya,
ekonomi dan politik. Dalam kehidupan sosial proses global telah
menciptakan egalitarianisme. Di bidang budaya memicu munculnya
internalisasi kultural, di bidang ekonomi menciptakan saling
ketergantungan dalam proses produksi dan pemasaran, dan di
bidang politik menciptakan liberalisasi.
Hal-hal nyata yang terlihat dalam era global adalah meningkatnya
integrasi ekonomi antar negara-negara di dunia, baik
antarnegara maju, berkembang, dan keduanya. Globalisasi dengan
demikian diwarnai oleh ekspansi pasar dalam bentuk konkret
menjelma dalam berbagai penyelenggaraan pasar-pasar bersama
regional seperti AFTA, NAFTA, APEC, EEC, dll. Ini merupakan
ekspansi hubungan dagang serta formasi wilayah pasar terpadu di
benua-benua Asia, Eropa, Amerika, Australia, dll. Proses per85
luasan pasar di seluruh wilayah penjuru dunia tersebut merupakan
sebuah rekayasa sosial dengan skala luas, yang belum pernah
terbayangkan sebelumnya, dengan menggunakan berbagai instrumen
seperti ilmu pengetahuan, teknologi, institusi sosial, politik
dan kebudayaan.
Para pakar dari sudut penglihatannya masing–masing melihat
adanya berbagai kecenderungan gelombang globalisasi.
Alatas (2000) melihat empat perubahan mendasar yang dapat
terjadi, yaitu.
1) Adanya suatu gelombang perubahan di dalam konstelasi politik
global. Apabila sebelumnya politik global bersifat bipoler
seperti misalnya Barat versus Timur, negara–negara industri
maju versus negara–negara berkembang, negara–negara
demokrasi versus negara–negara totaliter dan sebagainya. Di
dalam gelombang globalisasi konstelasi politik mengarah
kepada multipoler. Perdagangan misalnya tidak lagi bersifat
hubungan antara dua negara tetapi dengan berbagai negara.
2) Saling menguatnya hubungan antarnegara yang berarti
semakin kuatnya saling ketergantungan. Keterkaitan antara
negara dalam bidang politik, keamanan, ekonomi, sosial, lingkungan
hidup, dan hak–hak asasi manusia. Keterkaitan tersebut
mempunyai dampak baik positif maupun negatif.
3) Globalisasi menonjolkan pemain–pemain baru di dalam kehidupan
masyarakat, yaitu aktor–aktor nonpemerintah. Apabila
sebelumnya para aktor terutama didominasi oleh pemerintah
maka dalam era globalisasi muncullah aktor–aktor seperti
ornop–ornop, atau disebut juga lembaga swadaya masyarakat
(LSM). Muncullah para aktor baru yang merasa sebagai salah
satu stakeholder di dalam masyarakat, akan mengubah peran
pemerintah di dalam fungsinya yang mengatur masyarakat.
Daerah publik (public sphare) akan semakin meluas. Artinya
pemerintah harus membuka diri dan lebih transparan untuk
mendengar suara–suara dari masyarakat dan bukan hanya
mendengar suara pemerintah sendiri. Masyarakat yang demikian
menuju kepada masyarakat sipil atau masyarakat
madani. Pengakuan terhadap hak–hak asasi manusia merupakan
syarat dari suatu masyarakat sipil (masyarakat madani).
4) Lahirnya berbagai isu baru di dalam agenda hubungan–
hubungan internasional. Isu–isu baru tersebut antara lain hak
asasi manusia, intervensi kemanusiaan, perkembangan demokrasi
atau demokratisasi, dan keinginan untuk mengatur suatu
tata cara atau sistem pengelolaan global, misalnya di dalam
lingkungan dunia yang berkenaan dengan paru–paru dunia.
Demikian pula rasa suatu kebutuhan akan adanya global
governence yang mengatur tata cara dan kesepakatan didalam
hidup yang mengglobal. Termasuk dalam kategori ini misalnya
masalah terorisme internasional yang terkait dengan
tragedi Black Tuesday 11 September 2001 yang merontokkan
gedung World Trade Center di New York, dan Pentagon di
Washington D.C.
Gelombang globalisasi bukan hanya mengubah tatanan
kehidupan global, tetapi juga mengubah tatanan kehidupan pada
tingkat mikro. Dalam hal ini kita berbicara mengenai pengaruh
arus globalisasi di dalam ikatan kehidupan sosial. Seperti telah
diuraikan, globalisasi dapat mengandung unsur-unsur positif,
tetapi juga yang dapat bersifat negatif. Salah satu dampak negatif
dari proses globalisasi ialah kemungkinan terjadinya disintegrasi
sosial. Beberapa gejala transisi sosial akibat globalisasi antara lain
ialah hilangnya tradisi. Bentuk-bentuk budaya global telah memasuki
kehidupan sosial pada tingkatan mikro, sehingga dikhawatirkan
nilai-nilai tradisi lokal dan nilai-nilai moral yang hidup
di dalam masyarakat semakin lama semakin menghilang. Hal ini
disebabkan pula karena masih rendahnya pendidikan, terutama di
negara-negara berkembang. Dengan masih rendahnya tingkat
pendidikan masyarakat, kemampuan selektif dan adaptasi terhadap
perubahan-perubahan global mudah dipengaruhi sehingga
tradisi lokal terancam punah. Lebih daripada itu, dengan hilangnya
nilai-nilai tradisi sebagai pengikat kehidupan bersama mulai
melonggar. Salah satu dampak dari globalisasi ialah meningkatnya
kriminalitas kerah putih bahkan ada yang mengatakan bahwa
masyarakat modern telah menderita penyakit kleptokrasi. Bentukbentuk
kleptokrasi ini misalnya terlihat di dalam semakin meningkatnya
gejala-gejala korupsi di banyak negara berkembang.
Menghadapi gejala-gejala disintegrasi sosial, Irwan Abdullah
dalam Buchori (2001) menawarkan berbagai langkah untuk
memperkuat masyarakat dengan konsep kapital sosial. Yang
dimaksud dengan kapital sosial ialah suatu sistem nilai yang
hidup dan dipelihara serta dihormati untuk dilaksanakan di
86
dalam suatu masyarakat. Di dalam masyarakat terbuka rentan
terhadap hilangnya kapital sosial tersebut.
Dari berbagai uraian di atas menunjukkan bahwa suatu gejala
proses perubahan sosial yang mahadahsyat, yang belum pernah
dialami umat manusia sebelumnya. Istilah globalisasi telah menjadi
istilah umum yang dibicarakan oleh setiap orang sampai
diskusi ilmiah dalam lingkungan akademik.
5. Pendidikan sebagai Dasar PengembanganMasyarakat Baru
Dewasa ini boleh dikatakan pendidikan telah diadopsi oleh
semua negara, baik negara berkembang maupun negara maju,
dijadikan sebagai pondasi untuk menghadapi perubahan-perubahan
besar di dalam kehidupan masyarakat dalam millennium
ketiga. Hal ini dapat terbayang di dalam investasi pendidikan dari
negara-negara tersebut. Pendidikan telah dijadikan prioritas
utama dan pertama dari banyak negara untuk dijadikan sebagai
pondasi membangun masyarakat yang lebih demokratis, terbuka
bagi perubahan-perubahan global dan menghadapi masyarakat
digital. Di dalam kampanye pemilihan Presiden Amerika Serikat
tahun 2000 baru-baru ini, pendidikan telah menempati kedudukan
yang sangat penting dan dijadikan landasan pembangunan
masyarakatnya. Demikian pula bagi negara-negara berkembang
seperti negara-negara ASEAN boleh dikatakan semua negara
memberikan prioritas utama kepada pengembangan pendidikan
yang tercermin di dalam alokasi dana pemerintah.
Sejalan dengan arah baru mengenai pendidikan di dalam
pengembangan suatu masyarakat, maka ilmu pendidikan juga
mempunyai orientasi baru.
a. Arah Baru Pedagogik
Di dalam perkembangannya, pedagogik terbatas kepada masalah-
masalah mikro pendidikan, seperti perkembangan anak,
proses belajar dan pembelajaran, fasilitas pendidikan, biaya pendidikan,
manajemen pendidikan dan sebagainya. Di dalam perkembangannya
dewasa ini, pedagogik ternyata tidak terlepas dari
perubahan-perubahan sosial, politik dan ekonomi. Telah kita lihat,
betapa perubahan pola-pola kehidupan masyarakat manusia
dewasa ini yang semakin terbuka. Kehidupan politik yang
semakin didominasi oleh gerakan demokratisasi. Hak-hak asasi
manusia semakin menonjol di dalam setiap pemerintahan dan di
dalam organisasi-organisasi dunia. Semuanya mengakui betapa
besar peranan pendidikan di dalam membangun masyarakat
dunia baru. Indonesia telah mulai menunjukkan gejala-gejala yang
positif memprioritaskan pendidikan di dalam proses pembangunan
masyarakat Indonesia baru di dalam APBN dan APBD
yang akan datang.
Perubahan-perubahan sosial tersebut di atas telah membawa
kepada suatu keperluan untuk memberikan orientasi baru terhadap
pedagogik. Pedagogik bukan sekadar mencermati perkembangan
anak sejak lahir sampai dewasa, atau mengenai proses
pendidikan orang dewasa, atau menyimak mengenai proses
belajar dan pembelajaran, tetapi lebih luas daripada itu, yaitu
menempatkan perkembangan dan kehidupan manusia di dalam
tetanan kehidupan global. Dengan demikian, pedagogik bukan
hanya terbatas kepada ilmu mendidik dalam arti sempit, atau
sekadar aplikasi ilmu jiwa pendidikan, tetapi juga membahas
mengenai keberadaan manusia di dalam kebersamaan hidup yang
mengglobal bagi umat manusia. Dengan demikian, pedagogik
merupakan bagian dari perubahan politik, bagian dari perubahan
sosial dan juga bagian dari perubahan ekonomi, bukan hanya
perubahan ekonomi bagi negara-negara maju, tetapi juga ekonomi
yang dihadapi oleh kebanyakan negara berkembang yakni pemberantasan
kemiskinan. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila
investasi di dalam pendidikan dan pelatihan merupakan agenda
paling urgen di dunia dewasa ini. Masalah-masalah pemberdayaan,
partisipasi masyarakat, perencanaan dari bawah, perbaikan
gizi, pengembangan civil society, pengembangan sikap toleransi
antarbangsa, antaragama, antara lapisan kehidupan sosial ekonomi,
antaretnis, multicultural education, merupakan topik-topik
hangat di dalam pedagogik arah baru.
b. Pendidikan, Ekonomi, Politik, dan Kebudayaan
Pedagogik orientasi baru tersebut di atas, menunjukkan keterkaitan
yang erat antara pedagogik dengan pertumbuhan ekonomi
serta pertumbuhan politik. Demikian selanjutnya, pedagogik tidak
dapat dilepaskan dari kebudayaan di mana pendidikan itu
merupakan bagian dari padanya. Kebudayaan merupakan sarana,
bahkan jiwa dari kohesi sosial dari suatu masyarakat. Tanpa
87
kohesi sosial tidak mungkin lahirnya proses pendidikan. Oleh
sebab itu, pendidikan dan kebudayaan merupakan dua sisi dari
mata uang yang sama. Mengisolasikan pendidikan dari kebudayaan
berarti melihat proses pendidikan di dalam ruang hampa.
Pakar-pakar ekonomi juga pakar-pakar kebudayaan dan politik
melihat betapa pendidikan merupakan aspek yang sangat strategis
di dalam menyiapkan suatu tata kehidupan manusia yang baru.
Demikianlah kita melihat bagaimana peranan pendidikan di
dalam menata suatu masyarakat baru. Masyarakat baru yang
berdasarkan paradigma baru, akan dapat dipersiapkan melalui
proses pendidikan. Tidak berlebihan kiranya apabila pendidikan
dewasa ini, seluruh dunia dianggap sebagai pondasi dari membangun
masyarakat dunia baru.
Sabtu, 04 Agustus 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)